PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu
Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa
bin Bilal bin Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari,[1]
keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari salah seorang perantara dalam sengketa
antara Ali dan Mu’awiyah.[2]
Menurut beberapa riwayat, Al-Asyar’i lahir di Basrah pada tahun 260 H / 875 M.
Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana
pada tahun 324 H / 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari
adalah seorang yang berfaham Ahlu sunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika
Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya
yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibn
Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah
yang bernama abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H / 915 M), ayah kandung Abu Hasyim
Al-Jubba’i (w. 321 H / 932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu Al-Asy’ari dalam
perdebatan menentang lawan-lawan mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku
yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham mu’tazilah
hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumukan
di hadapan jama’ah masjie Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham
mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan serta kelemahan-kelemahannya.[3]
Dengan kata lain Al-Asya’ri keluar dari
golongan mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran
teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum
lahirnya aliran Asy’ari kata-kata sunna dan jama’ah telah dijumlah di dalam
tulisan-tulisan Arab.[4]
B.
Mazhab
dan Corak Pemikirannya
Al-Asy’ari, sebagai orang yang pernah
menganut paham mu’tazilah, tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal fikiran
dan argumentasi fikiran.[5]
Setelah keluar dari mu’tazilah, Al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi sesuatu
mazhab baru dan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (mu’tazilah) yang
mengakui keunggulan akal dan menimbang semua pernyataan, kepercayaan dan dogma
agama melalui neraca akal dan golongan ekstrem tekstualis (hanya berdasar
teks-teks suci dengan pemahaman harfiah).[6]
Selanjutnya faham asy’ariyah ini
dalam sejarah tercatat sebagai satu-satunya paham yang paling luas menyebar di
dunia Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Asy’ari adalah seorang pemikir
Islam klasik yang paling sukses. Adapun kesuksesan dari reformasi Al-Asy’ari
ini dalam deretan perkembangan pemikiran Islam sebagai yang terpanjang, bukan
saja karena karya-karya intelektual Al-Asy’ari, tetapi juga karena andil dari
tokoh-tokoh yang datang sesudahnya, dengan corak pemikirannya masing-masing
telah mengembangkan dan memperkaya dukungan bagi paham teologi yang kemudian
disebut dengan paham asy’ariyah.
Dengan demikian jelaslah kedudukan
asy’ari, seperti yang digambarkan pengikut-pengikutnya, sebagai seorang muslim
yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi
nas-nas Qur’an dan hadits, dengan menjadikannya sebagai dasar / pokok di
samping menggunakan akal fikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat
nas-nas tersebut.[8]
C.
Karya
Al-Asy’ari
Al-Asy’ari menulis dalam
kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak. Ia meninggalkan
karangan-karangan, kurang telah berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Ia
menolak fikiran-fikiran Aristoteles, golongan materialist, anthropomorphist,
khawarij dan golongan-golongan Islam lain, akan tetapi sebagian kegiatannya
ditujukan untuk menghadapi orang-orang muta’zilah, seperti Jubba’i, Abil Huzail
dan lain-lain, sebagaimana ditujukan terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih
menjadi pengikut mu’tazilah.[9]
Kitab-kitabnya yang terkenal ada
tiga, yaitu :
- Maqalat Al-Islamiyyin (pendapat-pendapat golongan-golongan Islam).
- Al-Ibanah An Ushulud Diyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama).
- Al-Luma (sorotan).[10]
D.
Perkembangan
Aliran Asy’ariyah
Pendirian Al-Asy’ary tersebut
merupakan tali penghubung antara dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran
lama (textralist) dan aliran baru rasionalis). Akan tetapi sesudah wafatnya,
aliran asy’ariyah mengalami perubahan yang cepat. Kalau pada permulaan berdirinya
kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka pada
akhirnya aliran Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran semata-mata
dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas itu sendiri. Mereka
sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naql (nas)”,
karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan Yang Maha
Kuasa.[11]
Allah telah mengilhami Imam
Al-Asy’ari untuk membela akidah ahlus sunnah dengan argumentasi-argumentasi
rasional sehingga kebanyakan para ulama ahli tertarik untuk bergabung ke dalam
mazhabnya. Imam Al-Asy’ari menetapkan sifat-sifat Allah sesuai denganapa yang
telah ditetapkan oleh Allah sendiri, demikian juga dengan asma (nama-nama-Nya).
Ia pun menolak (menafikan) daripada Allah apa-apa yang tidak layak dengan
kebesaran dan kemuliaan-Nya.[12]
Ahlus-sunnah tidak dapat menerima
golongan Asy’ariah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat (bid’ah). Kegiatan
mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang
Nizamul-Mulk (wafat 485 H / 1092 M), seorang Menteri Saljuk, yang mendirikan
dua sekolah terkenal dengan namanya, yaitu Nizamiyayha, di Nizabur dan Baghdad,
di mana hanya aliran asy’ariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran
asy’ariyah menjadi aliran resmi negara dan golongan asy’ariyah menjadi golongan
ahli sunnah.[13]
Faktor yang menyebabkan mazhab
Asy’ari (Asy’ariyah) menjadi demikian popular di kalangan masyarakat Islam
tidak terlepas dari dukungan sejumlah ulama besar dasar pelbagai disiplin ilmu,
terutama dari kalangan mazhab Syafi’i. Dalam mazhab Syafi’i Imam Abu Hasan
Al-Asy’ari sendiri adalah salah seorang tokoh yang bermazhab tersebut dalam
masalah fiqihnya.[14]
E.
Tokoh-Tokoh
Aliran Asy’ariyah
Salah satu unsur utama kemajuan aliran
Asy’ariyah ialah karena banyak di antara pengikut-pengikut orang-orang
terkemuka yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat
methapshisica, antara lain : Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali dan Assanusy.
- Al-Baqillani
Apabila Al-Asy’ari merupakan pemuka
yang pertama membantu aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka
yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya. Salah satu di
antara pengikut yang terpenting adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Tayyib ibn
Muhammad ibn Ja’bar ibn Al-Qasim Abu Bakar Al-Baqillani.[15]
Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan
tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan
Adud Daulat Al-Buwaih (w. 372 H), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh
kedua abad keempat Hijriyah. Meskipun tidak diketahui dengan pasti tahun
kelahirannya, namun pada umumnya para ahli mengatakan bahwa ia wafat di Baghdad tahun 403 H /
1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran Al-Asy’ari
melalui dua orang murid Al-Asy’ari yaitu Ibnu Mujahid dan Abu Al-Hasan
Al-Bahilli.[16]
Akan tetapi, Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran Al-Asy’ari. Dalam
beberapa hal pemikiran kalam Al-Baqillani tidak sejalan dengan Al-Asy’ari.
Di antara pemikiran Al-Baqillani yang
berbeda dengan Al-Asy’ari adalah tentang sifat Allah. Dalam hal ini
Al-Baqillani tidak mengikuti Al-Asy’ari. Sifat-sifat Tuhan bagi Al-Baqillani
bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau sesuatu yang menempat pada
zat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang
merusak keesaan Tuhan.[17]
Selanjutnya ia juga tidak sefaham
dengan Al-Asy’ari mengenai faham peruatan manusia. Apabila bagi Al-Asy’ari
perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut Al-Baqillani
manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudana perbuatannya. Yang
diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia : adapun bentuk
atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri.
Dengan lain kata, gerak dalamd iri
manusia mengambil berbagia bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi
duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes
(now’) dari gerak adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak,
yang diciptakan Tuhan itu, mengambil
bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi
Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi
Al-Baqillani daya itu mempunyai efek.[18]
Jadi kesimpulan dari pendapat
Al-Baqillani mengenai perbuatan manusia adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh
Harun Nasution, bahwa yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam
diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerakitu dihasilkan oleh manusia
sendiri. Artinya, gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, akan
tetapi spectus (new) dan gerak adalah perbuatan manusia.[19]
Al-Baqillani juga berpandangan bahwa
Allah tetap baik meskipun tidak menyiksa orang yang berbuat jahat. Kaum
muslimin juga sepakat bahwa mengampuni orang yang berbuat jahat itu baik. Oleh
karena itu, bukan suatu yang buruk bagi Allah untuk tidak melaksanakan
ancaman-Nya.
Dalam memperkuat pendapatnya ini
Al-Baqillani mengemukakan surat
At-Taghabun ayat 14 :
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä cÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÍÈ
Artinya :
“Hai
orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[20]
- Al-Juwaini
Nama lengkap Al-Juwaini adalah Abdul
Ma’ali Abdul Malik ibn Syaikh Abi Muhammad. Ia dilahirkan di Juwaini kawasan
Naisabur, Persi pada tahun 419 H / 1028 M.[21] Kemudian pergi ke kota
Mu’askar, dan akhirnya sampai di kota Baghdad . Ia mengikuti
jejak Al-Baqillani dan Al-Asy’ary dalam menunjung setinggi-tingginya kekuatan
akal fikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits. Akhirnya
ia sendiri terpaksa meninggalkan Baghdad menuju
Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran di sana . Karena itu ia
mendapat gelar “Dhiya ‘u al-din” tetapi lebih dikenal dengan gelarnya “Imam
Al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah dan Madinah).[22]
Kemudian atas perintah Perdana Menteri Nizam Al-Muluk di Naisabur, Al-Juwaini
kembali ke negerinya untuk mengajar di sekolah Nizamiyah sampai akhir hayatnya
pada tahun 478 H / 1085 M. Ia adalah guru utama Imam Al-Ghazali yang pertama
kali memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat dan logika.[23]
Al-Juwaini bekerja dalam lapangan
ushul fiqih dan ilmu kalam. Ia adalah orang yang pertama-tama membetuk fiqhi
syafi’iy atas dasar aliran asy’ary, sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya
Al-Irsyad, berisi pokok-pokok kepercayaan.[24]
Sama dengan Al-Baqillani, Al-Juwaini
juga tidak selamanya setuju dengan ajarannya yang ditinggalkan oleh Al-Asy’ari.
Mengenai antropomorfisme misalnya, ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus
ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan di takwilkan dengan penglihatan
Tuhan dan wajah Tuhan diartikan dengan wujud Tuhan. Keadaan Tuhan adalah di
atas tahta kerajaan diartikan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.[25]
v Tentang sifat Tuhan, menurut Al-Juwaini, dibagi
menjadi dua yaitu :
1.
Sifat
Nafisyah, yaitu sifat itsbat / positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada
zat. Sifat ini seperti qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, berbeda
dengan makhluk dan tidak mempunyai ukuran (imtidad-dimensi).
2.
Sifat
Ma’nawiyah, yaitu sifat yang timbul / ada karena sesuatu illat yang ada pada
zat, seperti sifat berkuasa (qadirun).
v Sifat-Sifat Tuhan ialah :
1.
Wujud
(ada)
2.
Baaqin
(kekal / abadi)
3.
Tidak ada
yang menyamai-Nya
4.
Tidak
berukuran (imtidad)[26]
Mengenai soal perbuatan manusia,
Al-Juwaini pergi lebih jauh dari Al-Baqillani. Menruutnya, daya yang ada pada
manusia juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat
antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada
manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab lain
ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga
sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. Dengan demikian, Al-Juwaini
berada jauh dari paham Al-Asy’ari dalam hal perbuatan manusia dan dekat dengan
Mu’tazilah tentang causality. Oleh karena itu, Ahmad Amin mengadakan
bahwa Al-Juwaini kembali dengan jalan berkelok-kelok kepada ajaran Mu’tazilah.[27]
Selanjutnya mengenai fungsi akal dan
wahyu, Al-Juwaini dalam kitab Al-Syamil fi ushul al-Din berpendapat
bahwa Al-Nadzar dan Istidlal untk mencapai pada ma’rifat Allah
adalah wajib. Akan tetapi kewajiban dalam hukum taklif itu tidak dapat ditentukan
oleh akal. Kewajiban-kewajiban taklifi itu hanya dapat diketahui oleh wahyu.
Hal ini karena dalam masalah-masalah di luar syari’at, akal memang mampu
menentukan baik-buruknya sesuatu. Tetapi pengetahuan tentang baik dan buruk
dalam syari’at / hukum Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal kecuali melalui
perantaraan wahyu.[28]
Al-Juwaini juga mengemukakan
pentingnya penggunaan argument rasional dalam memahami agama. Hal ini tampak
pemikirannya dalam menerima penafsiran kiasan (takwil) terutama tentang
antropomorfisme. Penerimaan takwil tersebut merupakan konsekuensi logis dari
pendapatnya tentang sifat Allah yang dirumuskan sebagai “imtidad” (tidak
berdimensi / berukuran). Hal ini mengharuskan Al-Juwaini menakwilkan ayat-ayat
yang mengesankan kejisiman Tuhan dan adanya tempat / ruang bagi Tuhan.
- Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu
Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H / 1059 M. Desa
Ghazalah terletak di daerah Thus yang termasuk wilayah Khurasan , Persia .[29]
Gurunya antara lain : Al-Juwaini. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah
mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir
Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnuya
meliputi berbagai lapangan, antara lain : logika, jaal (ilmu berdebat), fiqih
dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya
banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.[30]
Pada usia muda Al-Ghazali sudah
mempelajari fiqih di Thus dan kemudian melanjutkan studinya di Jurjan di bawah
bimbingan Abu Nasr Al-Isma’ili. Setelah itu Al-Ghazali kembali ke Thus dan
kemudian pergi Naisabur.
Setelah sepeninggalan gurunya yaitu
Al-Juwaini yang dijuluki Imam Al-Haramain (w. 478 H / 1085 M), Al-Ghazali
pindah ke Muaskar dan menetap di sana kurang lebih
lima tahun.
Pada saat itu ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di
istana perdana menteri Nizam Al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah
Al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H / 1091 M
ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Nizamiyah Baghdad dalam usia 34
tahun.[31]
Saat itu Al-Ghazali hidupnya
mengalami sebuah krisis dan tidak mengalami ketenangan batin, yakni keraguan
mendalam dari semua jalan yang ditempuhnya untuk mencari kebenaran (Tuhan)
tidak ada yang memuaskan baginya dan akhirnya ia sampai kepada tasawuf, sebagai
satu-satunya jalan mencari dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Karena banyak
contradistric dalam fikiran-fikirannya, maka sukar menentukan pendirian yang
sebenarnya.[32]
Pada tahun 1095 ia melepaskan
jabatannya di Universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian
batin, yang merupakan jaminan bagi kebenaran.
Setelah berhasil mengatasi krisisnya
dan menghilangkan keraguannya, Al-Ghazali kembali ke negerinya. Mulailah ia
menulis karya-karya yang bernada sufistik. Yang paling utama di antaranya
adalah kitab Ihya Ulum Al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama).
Kemudian Al-Ghazali mengajar, namun perubahan yang terjadi padanya akibat
krisis tadi bersifat permanen. Sekarang ia adalah seorang yang religius, bukan
sekedar guru ilmu-ilmu agama. Ia akhirnya wafat di Thus pada tahun 1111 M.
Karya-karya Al-Ghazali memegang
peranan penting dalam menyiarkan paham Islam ortodoks. Berkenaan dengan
karya-karya Al-Ghazali dalam bidang teologi, ia dikenal sebagai ulama yang
berpaham asy’ariyah dan sukses memperkenalkan paham Al-Asy’ariyah melalui paham
asy’ariyah menjadi sangat popular dan menjadi satu-satunya paham teologi yang
paling bisa diterima secara luas di kalangan kaum muslim sunni.[33]
Dalam soal metode ia menggunakan
logika Aristoteles dan ia adalah orang-orang yang pertama-tama menggunakannya.
Meskipun Al-Juwaini sebelum dia, telah membuka jalan ke arah itu. Metode
yangbaru ini nampak jelas dalam kitab-kitabnya :
-
Tahafut
Al-Falasifah (keruntuhan filosof-filosof)
-
Ar-Raddu
alal bathiniyyah (membalas / menentang aliran batin).
-
Al-Iqtisad
fi ilmi al-I’tikad (jalan tengah dalam ilmu kepercayaan).
-
Ar-Risalah
Al-Qudsiyyah (risalah yang dikarang di Kota Kuds).
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran
Asy’ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah
ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegang,
ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapat gelar “Hujjatul Islam” (tokoh
Islam).[34]
- As-Sanusy
Nama lengkap As-Sanusy adalah Abu
Abdillah Muhammad bin Yusuf. Ia lahir pada tahun 833 H / 1427 M d Tilimsan,
sebuah kota di Al-Jazair dan wafat pada tahun
895 H / 1490 M. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka
di negerinya, kemudian ia melanjutkan pelajarannya di kota Al-Jazair pada seorang alim yaitu Abd.
Rahman Ats-Tsa’alaby.
Ulama maghrib menganggap dia sebagai
pemabngun Islam, karena jasa dan karyanya yagnbanyak dalam lapangan kepercayaan
(aqa’id) dan ketuhanan (atau ilmu tauhid).
Kitab-kitabnya antara lain :
-
Akidah
Ahlit Tauhid (disebut juga akidah tauhid besar) dan
syarahnya berjudul “Umdah ahlit taufiq wat tasdid” (pegangan ahli
kebenaran maksudnya ahli sunnah).
Kitab terakhir ini tidak begitu
besar, akan tetapi besar pengaruhnya dalam dunia Aliran Asy’ariyyah, sehingga
banyak yang memberikan ulasan kitab tersebut ialah adanya pembagian sifat-sifat
Tuhan, rasul-rasul-Nya, kepada jumlah tertentu dan membaginya kepada wajib,
mustahil dan jaiz.
Karena kepraktisannya maka di Indonesia
sangat digemari sehingga aliran Asy’ariyah atau ahli sunnah yang ada di negeri
ini ialah yang bercorak Sanusiyyah.[36]
BAB III
PENUTUP
Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu
Al-hasan Ali Ibn Ismail Al-ASy’ari (lahir di Basrah 260 H / 873 H dan wafat di BAGHDAD 324 H / 935 M).
Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Jubbi,
seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan
diri meninggalkan ajaran mu’tazilah.
Madzhab ini telah berumur kurang lebih sepuluh abad yang
timbul pada permulaan abad keempat Hijriyah, dan masih terus sampai sekarang,
walaupun harus melalui perjuangan sengit selama lebih kurang satu setengah
abad. Ia harus berjuang melawan kadang-kadang golongan rasionalisme yang
terutama diwakili oleh pengikut-pengikut salafiyah ekstrim seperti golongan
Hambali dan Karramiyah. Kemudian ditakdirkan ajaran-ajarannya berkuasa sesudah
itu dan menjadi madzhab resmi dalam negara di alam Islam sunni. Perkembangan
ajaran-ajarannya itu ditolong oleh suasana sosial dan politik, pemimpinnya
secara umum berpadu dalam menjelaskan pendapatnya dan menyebarkan risalahnya
sepanjang zaman dan mereka tidak berselisih sesama sendiri seperti halnya
golongan mu’tazilah.
Salah satu unsur utama kemajuan aliran asy’ariyah ialah
karena banyak di antara pengikut-pengikutnya orang-orang terkemuka yang
mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafa methaphisica, antara lain
:
1.
Al-Baqillani
(wafat 403 H / 1013 M).
2.
Al-Juwainy
(419 – 478 H / 1028 – 1085 M).
3.
Al-Ghazali
(lahir tahun 450 H / 1059 M).
4.
As-Sanusy
(833 – 895 H / 1427 – 1490 M).
DAFTAR PUSTAKA
Roshina, Anwar dan Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam.
Bandung : Pustaka
SEtia.
Hanafi, Ahmad. 1996. Theologi Islam (Ilmu Kalam)
Cet. Ke sebelas. Jakarta
: PT. Bulan Bintang.
Madjid, Nur Cholish. 1995. Islam Doktrin dan
Peradaban. Jakarta
: Paramadina.
Harun, Nasution. 1986. Teologi Islam :
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan Harun Nasution, Cet. 5. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).
Syihab, Tgk. H, Z, A. 1998. Akidah Ahlus Sunnah,
Cet. I. Jakarta
: PT. Bumi Aksara.
Zuhri, Amat. 2008. Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu
Kalam). Pekalongan : STAIN Pekalongan Press.
[1] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Ilmu Kalam,
(Bandung :
Pustaka Setia, 2003), hal. 120.
[2] Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) Cet. Ke sebelas, (Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1996), hal. 58.
[3] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Ibid,
hal. 120.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah Analisa
dan Perbandingan harun Nasution, Cet. 5, (Jakarta
: Penerbit Universitas Ind onesia (UI Press),
1986), hal. 64.
[5] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 60.
[6] Nur Cholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina,
1995), hal. 282.
[7] Amat Zuhri , Wa rna-Warni Teologi Islam (Ilmu
Kalam), (Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2008), hal. 136.
[8] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 61.
[9] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 59.
[10] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 60.
[11] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 61.
[12] Drs. Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta : PT. Bumi Aksara,
1998), hal. 80.
[13] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 62.
[14] Drs. Tgk. H.Z.A. Syihab, Op.Cit., hal.37.
[15] Harun Nasution, Op.Cit., hal. 71.
[16] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 136.
[17] Amat Zuhri, Ibid, hal. 137.
[18] Harun Nasution, Loc.Cit., hal. 71.
[19] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 138.
[20] Amat Zuhri, Ibid, hal. 139.
[21] Amat Zuhri, Ibid, hal. 140.
[22] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 64.
[23] Amat Zuhri, Loc.Cit., hal. 140.
[24] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 64.
[25] Amat Zuhri, Loc.Cit., hal. 140.
[26] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 65.
[27] Harun Nasution, Op.Cit., hal. 141.
[28] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 141.
[29] Amat Zuhri, Ibid, hal. 142.
[30] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 66.
[31] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 143.
[32] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 66.
[33] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 144.
[34] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 67.
[35] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 68.
[36] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 69.
0 komentar:
Posting Komentar