Pages

Rabu, 15 Februari 2012

Al-Asy’ari



PEMBAHASAN

A.    Riwayat Singkat Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari,[1] keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ari salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Mu’awiyah.[2] Menurut beberapa riwayat, Al-Asyar’i lahir di Basrah pada tahun 260 H / 875 M. Ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H / 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlu sunnah dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibn Al-Asy’ari, sepeninggal ayahnya, menikah lagi dengan seorang tokoh mu’tazilah yang bernama abu Ali Al-Jubba’i (w. 303 H / 915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H / 932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu Al-Asy’ari dalam perdebatan menentang lawan-lawan mu’tazilah. Selain itu, banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari menganut faham mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumukan di hadapan jama’ah masjie Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan faham mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan serta kelemahan-kelemahannya.[3] Dengan  kata lain Al-Asya’ri keluar dari golongan mu’tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran Asy’ari kata-kata sunna dan jama’ah telah dijumlah di dalam tulisan-tulisan Arab.[4]

B.     Mazhab dan Corak Pemikirannya
Al-Asy’ari, sebagai orang yang pernah menganut paham mu’tazilah, tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal fikiran dan argumentasi fikiran.[5] Setelah keluar dari mu’tazilah, Al-Asy’ari meletakkan dasar-dasar bagi sesuatu mazhab baru dan mengambil posisi antara ekstrem rasionalis (mu’tazilah) yang mengakui keunggulan akal dan menimbang semua pernyataan, kepercayaan dan dogma agama melalui neraca akal dan golongan ekstrem tekstualis (hanya berdasar teks-teks suci dengan pemahaman harfiah).[6]
Selanjutnya faham asy’ariyah ini dalam sejarah tercatat sebagai satu-satunya paham yang paling luas menyebar di dunia Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Asy’ari adalah seorang pemikir Islam klasik yang paling sukses. Adapun kesuksesan dari reformasi Al-Asy’ari ini dalam deretan perkembangan pemikiran Islam sebagai yang terpanjang, bukan saja karena karya-karya intelektual Al-Asy’ari, tetapi juga karena andil dari tokoh-tokoh yang datang sesudahnya, dengan corak pemikirannya masing-masing telah mengembangkan dan memperkaya dukungan bagi paham teologi yang kemudian disebut dengan paham asy’ariyah.
Para pengikut Asy‘ariyah tidak selamanya memiliki pandangan yang sama dengan Al-Asy’ari sebagia pendiri paham ini. Adakalanya pemikiran pengikut Asy’ariyah justru lebih dekat kepada paham teologi lawannya, mu’tazilah. Di antara pengikuti Al-Asy’ari yang terkenal dan berjasa dalam mengembangkan ajaran-ajarannya ialah Abu Bakar Al-Baqillani, Imam Al-Juwaini, dan Imam Al-Ghazali. Al-Baqillani dan Al-Juwaini tidak sepenuhnya sepaham dan Al-Asy’ari, terutama dalam soal Al-Kash dan dalam pengertian sifat Allah, sedangkan Al-Ghazali dikenal sebagai pewaris setia ajaran Al-Asy’ari.[7]
Dengan demikian jelaslah kedudukan asy’ari, seperti yang digambarkan pengikut-pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi nas-nas Qur’an dan hadits, dengan menjadikannya sebagai dasar / pokok di samping menggunakan akal fikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nas-nas tersebut.[8]

C.    Karya Al-Asy’ari
Al-Asy’ari menulis dalam kitab-kitabnya agar bisa dibaca orang banyak. Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang telah berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Ia menolak fikiran-fikiran Aristoteles, golongan materialist, anthropomorphist, khawarij dan golongan-golongan Islam lain, akan tetapi sebagian kegiatannya ditujukan untuk menghadapi orang-orang muta’zilah, seperti Jubba’i, Abil Huzail dan lain-lain, sebagaimana ditujukan terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih menjadi pengikut mu’tazilah.[9]
Kitab-kitabnya yang terkenal ada tiga, yaitu :
  1. Maqalat Al-Islamiyyin (pendapat-pendapat golongan-golongan Islam).
  2. Al-Ibanah An Ushulud Diyanah (keterangan tentang dasar-dasar agama).
  3. Al-Luma (sorotan).[10]

D.    Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Pendirian Al-Asy’ary tersebut merupakan tali penghubung antara dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama (textralist) dan aliran baru rasionalis). Akan tetapi sesudah wafatnya, aliran asy’ariyah mengalami perubahan yang cepat. Kalau pada permulaan berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut, maka pada akhirnya aliran Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal pikiran semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naql (nas)”, karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan Yang Maha Kuasa.[11]
Allah telah mengilhami Imam Al-Asy’ari untuk membela akidah ahlus sunnah dengan argumentasi-argumentasi rasional sehingga kebanyakan para ulama ahli tertarik untuk bergabung ke dalam mazhabnya. Imam Al-Asy’ari menetapkan sifat-sifat Allah sesuai denganapa yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri, demikian juga dengan asma (nama-nama-Nya). Ia pun menolak (menafikan) daripada Allah apa-apa yang tidak layak dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya.[12]
Ahlus-sunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat (bid’ah). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul-Mulk (wafat 485 H / 1092 M), seorang Menteri Saljuk, yang mendirikan dua sekolah terkenal dengan namanya, yaitu Nizamiyayha, di Nizabur dan Baghdad, di mana hanya aliran asy’ariyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran asy’ariyah menjadi aliran resmi negara dan golongan asy’ariyah menjadi golongan ahli sunnah.[13]
Faktor yang menyebabkan mazhab Asy’ari (Asy’ariyah) menjadi demikian popular di kalangan masyarakat Islam tidak terlepas dari dukungan sejumlah ulama besar dasar pelbagai disiplin ilmu, terutama dari kalangan mazhab Syafi’i. Dalam mazhab Syafi’i Imam Abu Hasan Al-Asy’ari sendiri adalah salah seorang tokoh yang bermazhab tersebut dalam masalah fiqihnya.[14]

E.     Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah
Salah satu unsur utama kemajuan aliran Asy’ariyah ialah karena banyak di antara pengikut-pengikut orang-orang terkemuka yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat methapshisica, antara lain : Al-Baqillani, Al-Juwaini, Al-Ghazali dan Assanusy.
  1. Al-Baqillani
Apabila Al-Asy’ari merupakan pemuka yang pertama membantu aliran yang kemudian memakai namanya, maka pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya. Salah satu di antara pengikut yang terpenting adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’bar ibn Al-Qasim Abu Bakar Al-Baqillani.[15] Ia lahir di Basrah tetapi tidak ada keterangan yang menjelaskan tanggal dan tahun kelahirannya. Oleh karena ia hidup bertepatan dengan masa pemerintahan Adud Daulat Al-Buwaih (w. 372 H), maka diperkirakan ia lahir setelah paroh kedua abad keempat Hijriyah. Meskipun tidak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, namun pada umumnya para ahli mengatakan bahwa ia wafat di Baghdad tahun 403 H / 1013 M.
Ia mengenal ajaran-ajaran Al-Asy’ari melalui dua orang murid Al-Asy’ari yaitu Ibnu Mujahid dan Abu Al-Hasan Al-Bahilli.[16] Akan tetapi, Al-Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran Al-Asy’ari. Dalam beberapa hal pemikiran kalam Al-Baqillani tidak sejalan dengan Al-Asy’ari.
Di antara pemikiran Al-Baqillani yang berbeda dengan Al-Asy’ari adalah tentang sifat Allah. Dalam hal ini Al-Baqillani tidak mengikuti Al-Asy’ari. Sifat-sifat Tuhan bagi Al-Baqillani bukanlah sesuatu yang berada di luar zat-Nya atau sesuatu yang menempat pada zat-Nya. Sifat disamakannya dengan nama, sehingga tidak membawa pengertian yang merusak keesaan Tuhan.[17]
Selanjutnya ia juga tidak sefaham dengan Al-Asy’ari mengenai faham peruatan manusia. Apabila bagi Al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut Al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudana perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia : adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri.
Dengan lain kata, gerak dalamd iri manusia mengambil berbagia bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan spectes (now’) dari gerak adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan  Tuhan itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi Al-Baqillani daya itu mempunyai efek.[18]
Jadi kesimpulan dari pendapat Al-Baqillani mengenai perbuatan manusia adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Harun Nasution, bahwa yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerakitu dihasilkan oleh manusia sendiri. Artinya, gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Tuhan, akan tetapi spectus (new) dan gerak adalah perbuatan manusia.[19]
Al-Baqillani juga berpandangan bahwa Allah tetap baik meskipun tidak menyiksa orang yang berbuat jahat. Kaum muslimin juga sepakat bahwa mengampuni orang yang berbuat jahat itu baik. Oleh karena itu, bukan suatu yang buruk bagi Allah untuk tidak melaksanakan ancaman-Nya.
Dalam memperkuat pendapatnya ini Al-Baqillani mengemukakan surat At-Taghabun ayat 14 :
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä žcÎ) ô`ÏB öNä3Å_ºurør& öNà2Ï»s9÷rr&ur #xrßtã öNà6©9 öNèdrâx÷n$$sù 4 bÎ)ur (#qàÿ÷ès? (#qßsxÿóÁs?ur (#rãÏÿøós?ur  cÎ*sù ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÍÈ

Artinya :
“Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara Isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[20]

  1. Al-Juwaini
Nama lengkap Al-Juwaini adalah Abdul Ma’ali Abdul Malik ibn Syaikh Abi Muhammad. Ia dilahirkan di Juwaini kawasan Naisabur, Persi pada tahun 419 H / 1028 M.[21]  Kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai di kota Baghdad. Ia mengikuti jejak Al-Baqillani dan Al-Asy’ary dalam menunjung setinggi-tingginya kekuatan akal fikiran, suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalkan Baghdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk memberi pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat gelar “Dhiya ‘u al-din” tetapi lebih dikenal dengan gelarnya “Imam Al-Haramain”, Imam dari dua tanah suci (Mekkah dan Madinah).[22] Kemudian atas perintah Perdana Menteri Nizam Al-Muluk di Naisabur, Al-Juwaini kembali ke negerinya untuk mengajar di sekolah Nizamiyah sampai akhir hayatnya pada tahun 478 H / 1085 M. Ia adalah guru utama Imam Al-Ghazali yang pertama kali memperkenalkan kepada muridnya itu studi kalam, filsafat dan logika.[23]
Al-Juwaini bekerja dalam lapangan ushul fiqih dan ilmu kalam. Ia adalah orang yang pertama-tama membetuk fiqhi syafi’iy atas dasar aliran asy’ary, sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Al-Irsyad, berisi pokok-pokok kepercayaan.[24]
Sama dengan Al-Baqillani, Al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajarannya yang ditinggalkan oleh Al-Asy’ari. Mengenai antropomorfisme misalnya, ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan, mata Tuhan di takwilkan dengan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan dengan wujud Tuhan. Keadaan Tuhan adalah di atas tahta kerajaan diartikan dengan Tuhan berkuasa dan Maha Tinggi.[25]
v  Tentang sifat Tuhan, menurut Al-Juwaini, dibagi menjadi dua yaitu :
1.       Sifat Nafisyah, yaitu sifat itsbat / positif bagi zat dan selalu ada sepanjang ada zat. Sifat ini seperti qidam, qiyamuhu binafsihi, wahdaniyah, berbeda dengan makhluk dan tidak mempunyai ukuran (imtidad-dimensi).
2.       Sifat Ma’nawiyah, yaitu sifat yang timbul / ada karena sesuatu illat yang ada pada zat, seperti sifat berkuasa (qadirun).
v  Sifat-Sifat Tuhan ialah :
1.      Wujud (ada)
2.      Baaqin (kekal / abadi)
3.      Tidak ada yang menyamai-Nya
4.      Tidak berukuran (imtidad)[26]
Mengenai soal perbuatan manusia, Al-Juwaini pergi lebih jauh dari Al-Baqillani. Menruutnya, daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab lain ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan. Dengan demikian, Al-Juwaini berada jauh dari paham Al-Asy’ari dalam hal perbuatan manusia dan dekat dengan Mu’tazilah tentang causality. Oleh karena itu, Ahmad Amin mengadakan bahwa Al-Juwaini kembali dengan jalan berkelok-kelok kepada ajaran Mu’tazilah.[27]
Selanjutnya mengenai fungsi akal dan wahyu, Al-Juwaini dalam kitab Al-Syamil fi ushul al-Din berpendapat bahwa Al-Nadzar dan Istidlal untk mencapai pada ma’rifat Allah adalah wajib. Akan tetapi kewajiban dalam hukum taklif itu tidak dapat ditentukan oleh akal. Kewajiban-kewajiban taklifi itu hanya dapat diketahui oleh wahyu. Hal ini karena dalam masalah-masalah di luar syari’at, akal memang mampu menentukan baik-buruknya sesuatu. Tetapi pengetahuan tentang baik dan buruk dalam syari’at / hukum Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal kecuali melalui perantaraan wahyu.[28]
Al-Juwaini juga mengemukakan pentingnya penggunaan argument rasional dalam memahami agama. Hal ini tampak pemikirannya dalam menerima penafsiran kiasan (takwil) terutama tentang antropomorfisme. Penerimaan takwil tersebut merupakan konsekuensi logis dari pendapatnya tentang sifat Allah yang dirumuskan sebagai “imtidad” (tidak berdimensi / berukuran). Hal ini mengharuskan Al-Juwaini menakwilkan ayat-ayat yang mengesankan kejisiman Tuhan dan adanya tempat / ruang bagi Tuhan.
  1. Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H / 1059 M. Desa Ghazalah terletak di daerah Thus yang termasuk wilayah Khurasan, Persia.[29] Gurunya antara lain : Al-Juwaini. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam terkenal dan yang paling banyak pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnuya meliputi berbagai lapangan, antara lain : logika, jaal (ilmu berdebat), fiqih dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.[30]
Pada usia muda Al-Ghazali sudah mempelajari fiqih di Thus dan kemudian melanjutkan studinya di Jurjan di bawah bimbingan Abu Nasr Al-Isma’ili. Setelah itu Al-Ghazali kembali ke Thus dan kemudian pergi Naisabur.
Setelah sepeninggalan gurunya yaitu Al-Juwaini yang dijuluki Imam Al-Haramain (w. 478 H / 1085 M), Al-Ghazali pindah ke Muaskar dan menetap di sana kurang lebih lima tahun. Pada saat itu ia sering menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan di istana perdana menteri Nizam Al-Mulk. Melalui pertemuan-pertemuan ilmiah inilah Al-Ghazali mulai muncul sebagai ulama yang menonjol. Pada tahun 484 H / 1091 M ia diangkat sebagai guru besar di Universitas Nizamiyah Baghdad dalam usia 34 tahun.[31]
Saat itu Al-Ghazali hidupnya mengalami sebuah krisis dan tidak mengalami ketenangan batin, yakni keraguan mendalam dari semua jalan yang ditempuhnya untuk mencari kebenaran (Tuhan) tidak ada yang memuaskan baginya dan akhirnya ia sampai kepada tasawuf, sebagai satu-satunya jalan mencari dan mengabdikan diri kepada Tuhan. Karena banyak contradistric dalam fikiran-fikirannya, maka sukar menentukan pendirian yang sebenarnya.[32]
Pada tahun 1095 ia melepaskan jabatannya di Universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian batin, yang merupakan jaminan bagi kebenaran.

Setelah berhasil mengatasi krisisnya dan menghilangkan keraguannya, Al-Ghazali kembali ke negerinya. Mulailah ia menulis karya-karya yang bernada sufistik. Yang paling utama di antaranya adalah kitab Ihya Ulum Al-Din (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kemudian Al-Ghazali mengajar, namun perubahan yang terjadi padanya akibat krisis tadi bersifat permanen. Sekarang ia adalah seorang yang religius, bukan sekedar guru ilmu-ilmu agama. Ia akhirnya wafat di Thus pada tahun 1111 M.
Karya-karya Al-Ghazali memegang peranan penting dalam menyiarkan paham Islam ortodoks. Berkenaan dengan karya-karya Al-Ghazali dalam bidang teologi, ia dikenal sebagai ulama yang berpaham asy’ariyah dan sukses memperkenalkan paham Al-Asy’ariyah melalui paham asy’ariyah menjadi sangat popular dan menjadi satu-satunya paham teologi yang paling bisa diterima secara luas di kalangan kaum muslim sunni.[33]
Dalam soal metode ia menggunakan logika Aristoteles dan ia adalah orang-orang yang pertama-tama menggunakannya. Meskipun Al-Juwaini sebelum dia, telah membuka jalan ke arah itu. Metode yangbaru ini nampak jelas dalam kitab-kitabnya :
-          Tahafut Al-Falasifah (keruntuhan filosof-filosof)
-          Ar-Raddu alal bathiniyyah (membalas / menentang aliran batin).
-          Al-Iqtisad fi ilmi al-I’tikad (jalan tengah dalam ilmu kepercayaan).
-          Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (risalah yang dikarang di Kota Kuds).
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegang, ulama-ulama Islam, yang karenanya ia mendapat gelar “Hujjatul Islam” (tokoh Islam).[34]


  1. As-Sanusy
Nama lengkap As-Sanusy adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf. Ia lahir pada tahun 833 H / 1427 M d Tilimsan, sebuah kota di Al-Jazair dan wafat pada tahun 895 H / 1490 M. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negerinya, kemudian ia melanjutkan pelajarannya di kota Al-Jazair pada seorang alim yaitu Abd. Rahman Ats-Tsa’alaby.
Ulama maghrib menganggap dia sebagai pemabngun Islam, karena jasa dan karyanya yagnbanyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (atau ilmu tauhid).
Kitab-kitabnya antara lain :
-          Akidah Ahlit Tauhid (disebut juga akidah tauhid besar) dan syarahnya berjudul “Umdah ahlit taufiq wat tasdid” (pegangan ahli kebenaran maksudnya ahli sunnah).
-          Ummul Barahin (disebut juga akidah tauhid kecil) atau “Risalah As-Sanusiyyah”.[35]
Kitab terakhir ini tidak begitu besar, akan tetapi besar pengaruhnya dalam dunia Aliran Asy’ariyyah, sehingga banyak yang memberikan ulasan kitab tersebut ialah adanya pembagian sifat-sifat Tuhan, rasul-rasul-Nya, kepada jumlah tertentu dan membaginya kepada wajib, mustahil dan jaiz.
Karena kepraktisannya maka di Indonesia sangat digemari sehingga aliran Asy’ariyah atau ahli sunnah yang ada di negeri ini ialah yang bercorak Sanusiyyah.[36]





BAB III
PENUTUP

Asy’ariyah berasal dari nama tokoh pendirinya Abu Al-hasan Ali Ibn Ismail Al-ASy’ari (lahir di Basrah 260 H / 873 H dan wafat di BAGHDAD 324 H / 935 M). Pada mulanya ia adalah murid Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Jubbi, seorang pemuka terkenal Mu’tazilah. Tapi ketika berumur 40 tahun, ia menyatakan diri meninggalkan ajaran mu’tazilah.
Madzhab ini telah berumur kurang lebih sepuluh abad yang timbul pada permulaan abad keempat Hijriyah, dan masih terus sampai sekarang, walaupun harus melalui perjuangan sengit selama lebih kurang satu setengah abad. Ia harus berjuang melawan kadang-kadang golongan rasionalisme yang terutama diwakili oleh pengikut-pengikut salafiyah ekstrim seperti golongan Hambali dan Karramiyah. Kemudian ditakdirkan ajaran-ajarannya berkuasa sesudah itu dan menjadi madzhab resmi dalam negara di alam Islam sunni. Perkembangan ajaran-ajarannya itu ditolong oleh suasana sosial dan politik, pemimpinnya secara umum berpadu dalam menjelaskan pendapatnya dan menyebarkan risalahnya sepanjang zaman dan mereka tidak berselisih sesama sendiri seperti halnya golongan mu’tazilah.
Salah satu unsur utama kemajuan aliran asy’ariyah ialah karena banyak di antara pengikut-pengikutnya orang-orang terkemuka yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafa methaphisica, antara lain :
1.      Al-Baqillani (wafat 403 H / 1013 M).
2.      Al-Juwainy (419 – 478 H / 1028 – 1085 M).
3.      Al-Ghazali (lahir tahun 450 H / 1059 M).
4.      As-Sanusy (833 – 895 H / 1427 – 1490 M).





DAFTAR PUSTAKA

Roshina, Anwar dan Abdul Rozak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung : Pustaka SEtia.

Hanafi, Ahmad. 1996. Theologi Islam (Ilmu Kalam) Cet. Ke sebelas. Jakarta : PT. Bulan Bintang.

Madjid, Nur Cholish. 1995. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta : Paramadina.

Harun, Nasution. 1986. Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan Harun Nasution, Cet. 5. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press).

Syihab, Tgk. H, Z, A. 1998. Akidah Ahlus Sunnah, Cet. I. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Zuhri, Amat. 2008. Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam). Pekalongan : STAIN Pekalongan Press.






[1] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Ilmu Kalam, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 120.
[2] Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) Cet. Ke sebelas, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1996), hal. 58.
[3] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Abdul Rozak, M.Ag, Ibid, hal. 120.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam : Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan harun Nasution, Cet. 5, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), 1986), hal. 64.
[5] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 60.
[6] Nur Cholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1995), hal. 282.
[7] Amat Zuhri, Warna-Warni Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Pekalongan : STAIN Pekalongan Press, 2008), hal. 136.
[8] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 61.
[9] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 59.
[10] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 60.
[11] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 61.
[12] Drs. Tgk. H.Z.A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 1998), hal. 80.
[13] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 62.
[14] Drs. Tgk. H.Z.A. Syihab, Op.Cit., hal.37.
[15] Harun Nasution, Op.Cit., hal. 71.
[16] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 136.
[17] Amat Zuhri, Ibid, hal. 137.
[18] Harun Nasution, Loc.Cit., hal. 71.
[19] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 138.
[20] Amat Zuhri, Ibid, hal. 139.
[21] Amat Zuhri, Ibid, hal. 140.
[22] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 64.
[23] Amat Zuhri, Loc.Cit., hal. 140.
[24] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 64.
[25] Amat Zuhri, Loc.Cit., hal. 140.
[26] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 65.
[27] Harun Nasution, Op.Cit., hal. 141.
[28] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 141.
[29] Amat Zuhri, Ibid, hal. 142.
[30] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 66.
[31] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 143.
[32] Ahmad Hanafi, Loc.Cit., hal. 66.
[33] Amat Zuhri, Op.Cit., hal. 144.
[34] Ahmad Hanafi, Op.Cit., hal. 67.
[35] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 68.
[36] Ahmad Hanafi, Ibid, hal. 69.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers