Pages

Selasa, 14 Februari 2012

FAA’IL (subjek pekerja)


الْفَاعِلُ

FAA’IL (subjek pekerja)
HUKUM I’ROB FA’IL ROFA’

الْفَاعِلُ الَّذِي كَمَرْفُوعَيّ أَتَى زَيْدٌ مُنِيْرَاً وَجْهُهُ نِعْمَ الْفَتَى

Yang disebut Fa’il adalah seperti kedua lafazh yg dirofa’kan dalam contoh: “ATAA ZAIDUN MUNIIRON WAJHUHU NI’MAL FATAA = zaid datang dengan berseri-seri wajahnya seorang pemuda yg beruntung”
Yakni, (1).  Fa’il yg dirofa’kan oleh fi’il mutashorrif atau oleh fi’il jamid seperti contoh “ATAA ZAIDUN dan NI’MAL FATAA”. (2).  Fa’il yg dirofa’kan oleh syibhul fi’li/serupa pengamalan fi’il seperti contoh: MUNIIRON WAJHU HU.
HUKUM POSISI FA’IL ADA SETELAH FI’IL

وَبَعْدَ فِعْل فَاعِلٌ فَإِنْ ظَهَرْ فَهْوَ وَإِلاَّ فَضَمِيْرٌ اسْتَتَرْ

Faa’il adanya setelah Fi’il, maka jika nampak itulah Fa’ilnya (berupa Isim Zhahir atau Dhamir Bariz) dan jika tidak nampak maka Fa’ilnya berupa Dhamir yg tersimpan (dhamir mustatir).
HUKUM FA’IL ZHOHIR BENTUK DUAL ATAU JAMAK FI’ILNYA TETAP BENTUK MUFROD

وَجَرِّدِ الْفِعْلَ إِذَا مَا أُسْنِدَا لاِثْنَيْنِ أَوْ جَمْعٍ كَفَازَ الْشُّهَدَا

Kosongkanlah Kalimah Fi’ilnya (kosong tanpa tanda dhamir) apabila ia dimusnadkan/disandarka pada Fa’il Zhohir Mutsanna ataupun Jamak, contohnya seperti: “Faaza as-Syuhada = Jayalah para Syuhada”
FAA’IL DARI FI’IL YG DIBUANG

وَقَدْ يُقَالُ سَعِدَا وَسَعِدُوا وَالْفِعْلُ لِلْظَّاهِرِ بَعْدُ مُسْنَدُ

Dan terkadang diucapkan “SA’IDAA” juga “SA’IDUU” (menetapkan alif atau wawu sebagai huruf tanda tatsniyah atau jamak, bukan sebagai fa’il isim dhamir) beserta Fi’ilnya tetap menjadi Musnad bagi fa’il Isim Zhahir setelahnya. (contoh: “SA’IDAA AT-THALIBAANI = dua siswa berbahagia” atau SA’IDUU AT-THULLAABU = para siswa berbahagia).
demikian menurut sebagian lahjah orang Arab alif atau wawu difungsikan sebagai huruf tanda tatsniyah dan jamak seperti huruf TA’ tanda mu’annats. sebagaimana mereka mengatakan AKALUUNII AL-BARAAGHITSU “kutu-kutu itu memakanku”. Dan lain lagi menurut mayoritas, kalam seperti itu tetap menfungsikan alif dan wawu isim dhamir sebagai Fa’ilnya, sedangkan isim zhahir setelahnya sebagai badal bagi isim dhamir atau pula sebagai mubtada’ yg diakhirkan.
Contoh firman Allah:
وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا
Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka (al-Anbiyaa’ : 3)
ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ
kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). (al-Maa-dah : 71)

وَيَرْفَعُ الْفَاعِلَ فِعْلٌ أضْمِرَا كَمِثْلِ زَيْدٌ فِي جَوَابِ مَنْ قَرَا

Kalimah Fi’il yg tersimpan merofa’kan Faa’il, adalah semisal contoh : “ZAIDUN” (takdirannya QORO-A ZAIDUN = Zaid membaca) pada jawaban pertanyaan: MAN QORO-A? = siapa yg membaca?
Faa’il ada yg dirofa’kan oleh Fi’il yg disimpan. Baik penyimpanan fi’il itu bersifat jawazan, semisal menjadi jawab Istifham sebagaimana contoh yg diangkat oleh Mushannif dalam bait diatas, atau menjadi jawab Nafi seperti contoh “MAA QORO-A HU AHADUN” (seorangpun tidak membacanya) maka dijawab “BALAA ZAIDUN ” (takdirannya BALAA QORO’A HU ZAIDUN = ya… zaid telah membacanya).
Contoh Firman Allah Swt:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, (az-Zukhruf : 87)
Atau penyimpanan fi’il itu bersifat wujuban, semisal faa’ilnya jatuh sesudah IN syarthiyyah atau IDZA syarthiyyah. Contoh “IN DHO’IIFUN ISTANSHURUKA FANSHURHU!” (jika seorang yg lemah yakni minta tolong kepadamu maka tolonglah!) lafazh DHO’IIFUN manjadi faa’il dari fi’il yg wajib dibuang, takdirannya ISTANSHURUKA DHO’IIFUN.
Contoh Firman Allah:
إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ
jika seorang meninggal dunia …. (An-Nisaa’ 176)
إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ
Apabila langit terbelah (Al-Insyiqaaq :1)
PERIHAL TA TANITS SAKINAH/TA SUKUN TANDA MUANNATS PADA KALIMA FI’IL

وَتَاءُ تَأْنِيْثٍ تَلِي الْمَاضِي إِذَا كَانَ لأنْثَى كَأَبَتْ هِنْدُ الأَذَى

Huruf Ta’ tanda Muannats mengiringi Fi’il Madhi bilamana dimusnadkan kepada Muannats. Seperti contoh: ABAT HINDUN AL-ADZAA = Hindun menghindari hal yg merugikan.
Apabila Fi’il Madhi dimusnadkan kepada Muannats, maka diberi Ta’ sukun tanda muannats sebagai penujukan bahwa Faa’ilnya Muannats. Baik Muannats Hakiki sebagaimana contoh dalam bait diatas oleh mushannif. Ataupun Muannats Majazi, contoh: THOLA’AT ASY-SYAMSU = Matahari telah terbit.

وَإِنَّمَا تَلْزَمُ فِعْلَ مُضْمَرِ مُتَّصِلٍ أَوْ مُفْهِمٍ ذَاتَ حِرِ

Sesungguhnya Ta’ Ta’nits tsb hanya diwajibkan pada kalimah Fi’il yg punya Faa’il Dhamir Muttashil, atau Faa’il Zhahir Muttashil yg memberi pemahaman memiliki farji (Muannats Haqiqi)
Perihal tanda muannats/TA ta’nits pada kalimah Fi’il tsb sebagaimana Bait diatas adalah Lazim/wajib.
Contoh TA tanits lazim/wajib:
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR muttashil / mustatir yg kembali pada muannats baik haqiqi ataupun majazi.
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Haqiqi :
HINDUN QOOMAT = Hindun berdiri, HINDAANI QOOMATAA = dua Hindun berdiri.
Contoh firman Allah:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ
Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: (Ali Imran : 36)
Contoh faa’il dhamir kembali pada muannats Majazi:
AS-SYAMSU THOLA’AT = matahari terbit. AL-’AINAANI NAZHOROTAA = dua mata melihat.
Contoh firman Allah:
كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir (Al Baqarah 261)
2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Haqiqi yg muttashil/b ersambung langsung. Contoh:
QOOMAT HINDUN = Hindun berdiri, QOOMAT AL-HIDAANI = dua Hindun berdiri, QOOMAT AL-HINDAATUN = banyak Hindung berdiri.
Contoh Firman Allah:
وَقَالَتِ امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ
Dan berkatalah isteri Fir’aun:… (alQashash : 9)
Selain dua parameter diatas maka ta ta’nits dihukumi Jawaz, contoh :
1. Faa’ilnya berupa DHAMIR munfashil
MAA QOOMA ILLA HIYA =Tidak berdiri kecuali dia (lebih baik tanpa ta’ ta’nits)
2. Faa’ilnya berupa Isim Zhahir Muannats Majazi, contoh:
THOLA’AT AS-SYAMSU = Matahari telah terbit. (boleh memakai ta’ ta’nits atau tidak).
Contoh Firman Allah :
Dengan memakai ta’ ta’nits:
فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتُهُمْ
maka tidaklah beruntung perniagaan mereka (AlBaqarah:16)
Tanpa Ta’ ta’nits:
وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
dan matahari dan bulan dikumpulkan (al-Qiyaamah:9)

وَقَدْح يُبِيْحُ الْفَصْلُ تَرْكَ الْتَّاءِ فِي نَحْوِ أَتَى الْقَاضِيَ بِنْتُ الْوَاقِفِ

Terkadang Fashl itu (pemisah antara fi’il dan Faa’il yg muannats haqiqi) membolehkan meninggalkan TA tanda muannats (tanpa TA pada fi’ilnya) dalam contoh: “ATAA AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI” = “putri seorang yg menetap itu mendatangi qodhi/hakim” (yakni, lebih baik pakai TA manjadi “ATAT AL-QAADHIYA BINTUL-WAAQIFI”)
KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’ilnya yg muannats haqiqi tersebut terdapat Fashl/pemisah yg selain lafazh ILLA. Maka kalimah Fi’ilnya boleh tanpa memakai TA tanda muannats namun yg lebih baik dengan tetap memakai TA tanda muannats. Contoh sebagaimana bait diatas: boleh “ATAA” yang terbaik: “ATAT”.

وَالْحَذْفُ مَعْ فَصْلٍ بِإِلاَّ فُضِّلاَ كَمَا زَكَا إِلاَّ فَتَاةُ ابْنِ الْعَلاَ

Membuang TA tanda muannats bersamaan adanya Fashl dengan ILLA, adalah diutamakan. Seperti contoh: MAA ZAKAA ILLA FATAATU IBNIL-ALAA” = “tidak seorang yg baik kecuali gadis putri Ibnul-Alaa.
KET: Apabila antara kalimah Fi’il dan Faa’il muanntas tsb terdapat Fashl/pemisah yg berupa ILLA, maka menurut Jumhur Nuhat tidak boleh menetapkan TA tanda muannats. Contoh MAA QAAMA ILLA HINDUN dan MAA THALA’A ILLA AS-SYAMSU, maka tidak boleh mengatakan MAA QAAMAT ILLA HINDUN atau MAA THALA’AT ILLA AS-SYAMSU. Kecuali dalam hal ini ada syair arab yg menetapkan TA muannats tapi sangat jarang sekali adanya

وَالْحَذْفُ قَدْ يَأْتِي بِلاَ فَصْلٍ وَمَعْ ضَمِيْرِ ذِي الْمَجَازِ فِي شِعْرٍ وَقَعْ

Pembuangan TA’ tanits (pada kalimah fi’il yg mempunyai Faa’il Muannats Haqiqi) kadang terjadi dengan tanpa adanya Fashl (lafazh pemisah antara fi’il dan faa’ilnya). Dan pembuangan ini juga pernah terjadi pada sebuah syair, beserta Faa’ilnya berupa Dhamir muannats Majazy.
KET:
Pernah terjadi pada Kalam Arab membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg bersambung langsung tanpa Fashl pada faa’il isim zhahir muannats hakiki. Demikian adalah Syadz dan jarang adanya. Contoh hikayah orang arab yg mengatakan: “QOOLA FULAANATUN” = Si Fulan (Pr) berkata”.
Juga pernah terjadi hanya khusus pada sebuah syair, membuang TA ta’nits tanda muannats pada Kalimah Fi’il yg mempunyai faa’il dhamir muannats Majazy. Contoh ” WA LAA ARDHA ABQOLA” = “tidak ada bumi yg menumbuhkan tunas” pada sebuah Syair Jahiliyah oleh Amir Bin Juwain At-tho-iy yg menggambarkan keadaan suatu daerah yg sangat subur gemah ripah loh jinawi:
فلا مُزْنَةٌ وَدَقَتْ وَدْقَها # ولا أَرْضَ أبقَلَ إبْقالَها
“tidak ada awan yg mencurahkan curahan hujannya dan tidak ada bumi pun yg menumbuhkan tumbuhan tunasnya (seperti daerah ini).

وَالتَّاءُ مَعْ جَمْعٍ سِوَى الْسَّالِمِ مِنْ مُذَكَّرٍ كَالْتَّاءِ مَعْ إِحْدَى اللَّبِنْ

Hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah seperti hukum Ta ta’nits (pada kalimah Fi’il) yg menyertai mufradnya lafazh “LABINUN” (yaitu lafazh “LABINATUN”=batu bata. Yakni Muannats Majazy)
KET:
Hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il Isim Zhahir Jamak selain Jamak Mudzakkar Salim adalah Jawaz (Boleh membuang ta’ ta’nist atau tidak), seperti hukum TA ta’nits pada kalimah Fi’il yg mempunyai Faa’il isim Zhahir Mu’annats Majazi.
Contoh:
1- Faa’ilnya berupa Jamak Muannats Salim: “JAA-AT MUA’ALIMAATUN” atau “JAA-A MU’ALLIMAATUN” =para pengajar (pr) telah datang.
2- Faa’ilnya berupa Jamak Taksir: “JAA-A RIJAALUN” atau “JAA-AT RIJAALUN”
Contoh dalam AL-Qur’an
memakai Ta’ Ta’nits:
لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ
Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran (Al-A’rof : 43)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
قُلْ قَدْ جَاءَكُمْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِي
.” Katakanlah: “Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa orang rasul sebelumku (Ali Imran : 183)
3. Termasuk juga Faa’ilnya berupa Ismu Jam’in (Isim Jama’): “JAA-A QOUMUN” atau “JAA-AT QOUMUN” = Kaum telah datang.
Contoh dalam Al-Qur’an
Memakai ta’ ta’nits:
فَآمَنَتْ طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَكَفَرَتْ طَائِفَةٌ
lalu segolongan dari Bani Israil beriman dan segolongan lain kafir (ash-Shof:14)
Tanpa Ta’ Ta’nits:
بَيَّتَ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ غَيْرَ الَّذِي تَقُولُ
segolongan dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi (An-Nisaa’ : 81)

وَالْحَذْفَ فِي نِعْمَ الْفَتَاةُ اسْتَحْسَنُوا لأَنَّ قَصْدَ الْجِنْسِ فِيْهِ بَيِّنُ

Ulama Nuhat memandang baik terhadap pembuangan Ta’ ta’nits dalam contoh: “NI’MAL-FATAATU” karena bertujuan jenis nampak jelas didalamnya.
KET:
Demikian juga dihukumi Jawaz penggunaan TA ta’nits pada kalimah fi’il golongan NI’MA cs (Af’aalul-Mad-hi aw Af’aaludz-zdimmi) yang Faa’ilnya berupa isim Zhahir Mu’annats baik majazi atau haqiqi. Alasan hukum Jawaz karena Faa’ilnya dimaksudkan sebagai Jenis. diserupakan fi’il yg musnad pada Faa’il Jamak dalam hal subjeknya berbilangan. Contoh:
NI’MA AL-FATAATU = sebaik-baiknya pemudi (AL dalam lafazh AL-FATAATU sebagai AL jinsiyyah).
Boleh membuang ta’ ta’nits karena dipandang baik, namun menetapkan ta’ ta’nits adalah pilihan yg terbaik.
POSISI FA’IL

وَالأَصْلُ فِي الْفَاعِلِ أَنْ يَتَّصِلاَ وَالأَصْلُ فِي الْمَفْعُولِ أَنْ يَنْفصِلَا

Asal penyebutan Faa’il harus Ittishal/bersambung (antara Fi’il dan Faa’ilnya tanpa ada pemisah). Dan asal penyebutan Maf’ul harus Infishal/berpisah (antara Fi’il dan Maf’ulnya dgn dipisah oleh Faa’ilnya).

وَقَدْ يُجَاءُ بِخِلافِ الأَصْل وَقَدْ يَجِي الْمَفْعُوْلُ قَبْلَ الْفِعْلِ

Terkadang juga didatangkannya dengan Hukum yg menyalaihi Asal, dan terkadang juga Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya.
KETERANGAN:
hukum asal Faa’il ada setelah Fi’ilnya. Dan hukum asal Maf’ul berpisah dengan Fi’ilnya yakni berada setelah Faa’il. (FI’IL > FAA’IL > MAF’UL) contoh:
وَوَرِثَ سُلَيْمَانُ دَاوُودَ
Dan Sulaiman telah mewarisi Daud (An-Naml : 16)
Terkadang membedakan dengan hukum asal, yakni Maf’ul disebut sebelum Faa’ilnya. Contoh:
إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ
ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut (Al-Baqarah : 133)
Atau Maf’ul disebut sebelum Fi’ilnya. Contoh:
فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Al-Baqarah : 87)

وَأَخِّر الْمَفْعُولَ إِنْ لَبْسٌ حُذِرْ أَوْ أُضْمِرَ الْفَاعِلُ غَيْرَ مُنْحَصِرْ

Akhirkanlah Maf’ulnya! (wajib berada setelah Faa’il) jika ada kesamaran yg harus dihindarkan (demi menjaga ketidakjelasan antara faa’il dan mafulnya) atau Faa’ilnya berupa Dhamir selain yg dimahshur (yg diperkecualikan).
KETERANGAN :
Faa’il wajib dikedepankan dan Maf’ul di belakangnya, demikian apabila ditakutkan ada ketidakjelasan antara Faa’il dan Maf’ul, misalkan apabila i’rob antara keduanya samar. Contoh “DHARABA MUSA ‘ISA”. Atau faa’ilnya berupa dhamir selain yg dimahshur contoh: “DHARABTU ZAIDAN” apabila faa’ilnya berupa dhamir yg dimahshur maka wajib diakhirkan, contoh: “MAA DHARABA ZAIDAN ILLA ANA”

وَمَا بِإِلاَّ أَوْ بِإِنَّمَا انْحَصَرْ أَخِّرْ وَقَدْ يَسْبِقُ إِنْ قَصْدٌ ظَهَرْ

Terhadap suatu (Faa’il atau Maf’ul) yang dimahshur dengan ILLAA atau dengan INNAMAA, akhirkanlah! (diakhirkan dari suatu yg tidak dimahshur). # Terkadang suatu (Faa’il atau Maf’ul) yg dimahshur mendahului yg tidak dimahshur, jika maksudnya sudah jelas.
KETERANGAN:
Salah satu dari Fa’il atau Maf’ul yang dimahshur harus diakhirkan dari bagian yg tidak dimahshur, baik alat mahshurnya menggunakan INNAMA ataupun menggunakan ILLA.
Contoh mengakhirkan Fa’il yg dimahshur dan mengedepankan Maf’ulnya:
“MAA DHARABA AMRAN ILLA ZAIDUN” = tiada yg memukul Amr kecuali hanya Zaid
“INNAMA DHARABA AMRAN ZAIDUN” = hanya Zaid saja yg memukul Amr
Contoh dlm Al-Qur’an:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (Faatihir :28)
Contoh mengakhirkan Maf’ul yg dimahshur dan mengedepankan Faa’ilnya:
“MAA DHARABA ZAIDUN ILLA AMRAN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr
“INNAMA DHARABA ZAIDUN AMRAN” = Zaid memukul hanya kepada Amr saja
Terkadang lafazh yg dimahshur -baik sebagai faa’il atau Maf’uul- dikedepankan dari lafazh yg tidak dimahshur apabila sudah jelas dan nyata mana lafazh yg dimahshur dan mana yang tidak. Demikian apabila alat mahshurnya berupa ILLA karena lafazh yg jatuh sesudah ILLA tentunya yg dimahshur. Apabila alat mahshurnya menggunakan INNAMA, maka tidak boleh mengedepankan lafazh yg dimahshur sebab tidak ada kejelasan.
Contoh boleh mengedepankan Maf’ul yg dimahshur dengan ILLA :
“MAA DHARABA ILLA AMRAN ZAIDUN” = Zaid tidak memukul kecuali hanya kepada Amr

وَشَاعَ نَحْوُ خَافَ رَبَّهُ عُمَرْ وَشَذَّ نَحْوَ زَانَ نَوْرُهُ الْشَّجَرْ

Terkenal penggunaan kalimat seperti: “KHOOFA ROBBAHU ‘UMARU=Umar takut pada Tuhannya” (yakni, mengedepankan Maf’ul yg memuat Dhamir merujuk pada Fa’il di belakangnya). Dan Syadz penggunaan kalimat seperti: “ZAANA NAURUHU ASY-SYAJARO=bunga-bungaan pada pepohonan menghiasi pepohonan” (yakni, mengedepankan Fa’il yg memuat Dhamir merujuk pada Maf’ul di belakangnya).
KETERANGAN:
Apabila pada Maf’ul terdapat dhamir yg merujuk pada Fa’il, maka boleh maf’ul tsb dikedepankan dari Fa’ilnya. Sebab dhamir tsb hanya merujuk ke belakang secara lafzhan/lafazhnya bukan secara rutbatan/tingkatannya, karena status tingkatan/pangkat maf’ul ada dibelakang/dibawah fa’il seperti yg telah dijelaskan pada bait lalu bahwa hukum asal fa’il di depan dan maf’ul dibelakang.
Sebaliknya dilarang mengedepankan Fa’il yg memuat dhamir merujuk pada Maf’ul yg dibelakang. sebab dhamir akan merujuk kebelakang secara Lafzhan wa Rutbatan.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers