PEMBAHASAN
HISTORIOGRAFI
Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq
Al-Kindi ( 180 – 260 H / 796 – 873 M ) dilahirkan di Kufah. Ia memperoleh
pendidikan masa kecilnya di Basra , tumbuh dewasa
dan meninggal di Baghdad .
Ayahnya, Ishak Ibn Ash-Shabah, adalah gubernur Basra pada masa pemerintahan khalifah
Abbasiyah, Al-Hadi ( 785 – 786 M ) dan Harun Ar-Rasyid ( 786 – 809 M ). Di Baghdad , ia
terlibat dalam gerakan penerjemah dan ia memiliki perpustakaan pribadi
Al-Kindiyyah.
Jumlah karya tulis Al-Kindi sekitar
241 buah risalah, dalam lapangan filsafat, logika, psikologi , astronomi,
kedokteran, kimia, matematika, politik, optik, dll.
Al-Kindi juga dijuliki sebagai filsuf
Arab dan pernah memperoleh penghargaan tinggi dari khalifah Al-Mu’tasim. Di
samping perlakuan baik, pernah juga ia diperlakukan secara buruk dari
pihak-pihak yang iri kepadanya atau benci kepada filsafat, pada masa-masa
sesudah khalifah Al-Mutawakkil.
A. Filsafat Tuhan dan Alam
Sebagaimana halnya dengan
filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof Islam lainnya, Al-Kindi, selain dari
filosfo, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua
bagian :
1.
Pengetahuan
ilahi ( = Divine
Science )
Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an : yaitu pengetahuan
langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
2.
Pengetahuan
manusiawi ( = Human
Science ) atau filsafat dasarnya ialah pemikiran ( rasio reason ). ( Harun
Nasution, 1999 : 8 )
Falsafat baginya ialah pengetahuan
tentang yang benar ( Knowledge of Truth ) dan falsafat yang paling
tinggi ialah falsafat tentang Tuhan. Sebagaimana kata Al-Kindi :
“Filsafat yang termulia dan
tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar
pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”.
Kebenaran ialah bersesuaian apa yang
ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal. dalam alam terdapat benda-benda
yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan Juz’iyat
( , Particulars
), yang penting bagi falsafat bukan juz’iyat yang terhingga banyaknya itu,
tetapi yang penting ialah hakikat yang terdapat dalam juz’iyat itu, yaitu
kulliyat ( , universal, definisi )
tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat :
Ø Hakikatnya sebagai juz’i ( ) dan ini
disebut ( aniyah ).
Ø Dan hakikatnya sebagai kulli ( ) dan ini disebut sebagai ( ) yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk genus dan species.
Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak
mempunyai hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah. Tidak aniyah karena Tuhan
tidak masuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Bahkan ia adalah pencipta
alam, ia tidak tersususn dari materi dan bentuk ( ). Tuhan juga tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau
species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah
unik, ia adalah ( yang
benar pertama ) dan (
yang benar tunggal ), ia semata-mata satu. Hanya ialah yang satu, selain dari
Tuhan semuanya mengandung arti banyak. ( Harun Nasution, 1999 : 9 ).
Salah satu argumen untuk menunjukkan
adanya Tuhan berawal dari upaya untuk menunjukkan bahwa alam semesta ini
mustahil tidak tebatas, baik dari segi besarnya maupun dari waktu. Sekiranya
alam ini tak terbatas, minimal alam ini terbagi dua, maka pertanyaannya pun
mengarah kepada besar dari masing bagian. Karena bagian harus lebih kecil dari
pada keseluruhan, maka bagian pertama pun terbatas dan bagian kedua terbatas
pula. Bila kedua bagian itu dijumlahkan ( disatukan ) berarti bagian yang terbatas
ditambah dengan bagian yang terbatas, maka jumlahnya terbatas. Padahal semula
telah diandaikan seluruh alam ini tak terbatas. ( Taufik Abdullah, 2002 : 180
). Bila setiap bagiannya diandaikan tidak terbatas, suatu kemustahilan terjadi,
karena bagian tidak mungkin sama besarnya dengan keseluruhan. Jadi alam semesta
ini haruslah terbatas.
Hal-hal yang termuat dalam sesuatu
yang terbatas adalah dengan sendirinya terbatas pula. Setiap sesuatu yang
termuat dalam massa
seperti kuantitas, atau tempat, atau gerak, atau waktu yang merupakan pemisah
gerak itu, yaitu keseluruhan apa saja yang termuat dalam masa adalah terbatas (
terhingga ) pula, sebab masa adalah terhingga. ( Nurcholish Madjid, 1994 : 90
).
Jadi massa keseluruhan alam adalah terbatas, dan
setiap sesuatu yang termuat didalamnya itu dan seterusnya adalah demikian pula.
Hanya saja, bila massa keseluruhan alam bisa secara
angan-angan ditambahi secara tak habis-habisnya dengan cara membayagnkan bahwa
alam itu lebih besar dari pada yang ada, kemudian masih lebih besar laig secara
tak berkesudahan – maka sebenarnya alam itu tah terhingga untuk
bertambah-tambah demikian hanyalah dari sudut kemungkinan belaka. Jadi alam
hanya secara potensial tak terbatas ( tak terhingga ), sebab potensi tidak lain
ialah kemungkinan; kami maksudkan, bahwa berkenaan dengan sesuatu yang
diistilahkan sebagai secara potensial itu, maka apa pun yang ada dalam sesuatu
yang secara potensial tak terhingga itu adalah secara potensial tak terhingga
pula.
Termasuk dalam hal diatas adalah
gerak dan waktu. Sebab apa yang tak terhingga hanyalah ada secara potensial;
sedangkan secara actual, tidak mungkin ada sesuatu yang tak terhingga.
Maka telah menjadi jelas bahwa tidak
mungkin ada waktu secara actual yang tak terhingga. Waktu adalah waktu bagi massa keseluruhan alam;
kami maksudkan, periode alam itu. Kalau waktu itu terhingga ( terbatas ) maka
hakekat massa
adalah terhingga pula. Sebab waktu itu tidak berwujud.
Tidak ada massa tanpa waktu, sebab waktu ialah tidak
lain bilangan gerak, yakni bahwa waktu adalah periode yang terhitungkan oleh
gerak, maka bila ada gerak, ada waktu; dan bila tidak ada gerak, tidak ada
waktu. Setiap massa mempunyai periode, yang
keadaan dimana massa itu suatu esensi, yakni
keadaan yang padanya massa
itu merupakan sesuatu. Massa
tidak bisa mendahului gerak. Massa
itu tidak bisa mendahului periode yang terhitungkan oleh gerak. Jadi massa , gerak dan waktu
tidak bisa saling mendahuli dalam esensinya; semuanya itu ada secara bersamaan.
Argumen lain yang dikemukakan Al-Kindi
dapat dirangkum sebagai berikut :
Sebenarnya fenomena-fenomena
emopiris cukup jelas menunjukkan adanya pengaturan oleh pengatur awal, pengatur
bagi setiap pengatur, pelaku bagi setiap pelaku, pengada bagi setiap pengada,
dan sebab bagi setiap sebab. Kenyataan demikian hanya dapat di insafi oleh
orang yang alat inderanya di sinari oleh akalnya. Tujuan dan sandarannya adalah
kebenaran, dasar bagi kesimpulan dan keputusannya adalah kebenaran. Ia
menjadikan akal sebagai penilai disisinya dalam setiap konflik batinnya.
Sesungguhnya, kata Al-Kindi, ketertiban alam ini, baik susunannya,
interaksinya, kaitan antara bagian dengan bagiannya, tunduknya suatu bagian
pada bagian yang lain dan kekokohan strukturnya diatas landasan prinsip yang
terbaik bagi proses menyatu, bercerai-berai, muncul dan lenyapnya sesuatu dalam
alam ini. Semua adalah indikasi terbesar yang menunjukkan adanya pengaturan
yang mantap dan kebijaksanaan yang kokoh dan dengan demikian tentulah ada
pengatur yang Bijaksana, yaitu Allah SWT.
Tuhan adalah Yang Maha Esa dalam arti
sesungguhnya, sedangkan esa-esa yang lain yang terdapat dalam alam, hanyalah
dalam arti majazi ( metaforis ). Keesaan Tuhan tidak mengandung kejamakan,
sedangkan esa-esa yang lain tidak sunyi dari kejamakan itu. ( Taufik Abdullah,
2002 : 181 ). Dalam menegakkan pahak keesaan Tuhan, Al-Kindi memustahilkan
paham ketuhanan Trinitas ( Tiga Persona Tuhan Yang Maha Esa ). Tidak mungkin,
katanya; Tuhan Yang Maha Esa memiliki tiga persona : Bapak, Anak dan Roh Kudus,
karena itu berarti bahwa ketiga persona itu dan ada sifat khusus bagi setiap
persona. Apa yang tersusun tidaklah abadi dan dengan demikian, menurut
Al-Kindi, muntahil Tuhan itu Trinitas.
B. Jiwa dan Hidup Sesudah Mati
Al-Kindi menulis bahwa jiwa manusia
itu sederhana ( tidak tersusun ) tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan
mulai. Substansinya berasal dari substansi Tuhan seperti hubungan cahaya dengan
matahari.
Menurut Al-Kindi, roh adalah lain
dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Perbedaan antara roh dan badan terletak
pada argumen sebagai berikut : keadaan badan mempunyai Carnal Desire dan
Passion. Roh menentang keinginan Carnal Desire dan Passion.
( Harun Nasution, 1999 : 10 ).
Dengan perantaraan rohlah manusia
memperoleh pengetahuan yang sebenarnya. Ada
dua macam pengetahuan : Pengetahuan Panca Indra dan Pengetahuan Akal.
Pengetahuan panca indra hanya mengenai yang lahir-lahir saja. Dalam hal ini
manusia dan binatang sama. Pengetahuan akal merupakan hakikat dan hanya dapat
diperoleh oleh manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari
sifat binatang yang ada dalam tubuhnya.
Bila tujuan manusia di alam dunia ini
hanya untuk mendapatkan kelezatan makan dan minum, niscaya tertutup jalan bagi
potensi pikirnya untuk mengetahui hal-hal mulia, dan tidak mungkin baginya
mencapai kualitas menyerupai Allah SWT. Potensi syahwat pada manusia
dianalogikan oleh Al-Kindi sebagai babi, dan potensi marah dengan anjing,
sedangkan potensi pikir dengan malaikat. Siapa yang dikuasai oleh salah satu
dari ketiga sifat diatas maka tujuan hidupnya seperti yang di ilustrasikan di
atas.
Bila Tuhan memiliki kebijaksanaan,
kekuasaan, keadilan, kebaikan, keindahan dan kebenaran maka tidaklah mustahil
bila manusia dapat merealisasikan sifat yang dimiliki oleh Tuhan, dalam batas
kemampuannya sebagai manusia. ( Taufik Abdullah, 2002 : 182 ).
Keinginan badan yang ditinggalkan itu
dapat mengakibatkan kebersihan roh dari noda kebendaan dan senantiasa berpikir
tentang hakikat wujud dan akan menjadi suci.
Ilustrasi akan roh itu seperti halnya
dengan cermin, bila roh itu kotor maka tidak dapat menerima pengetahuan yang
dipancarkan oleh cahaya yang berasal dari Tuhan.
Roh bersifat kekal dan tidak hancur
seperti hancurnya badan. Ia tidak hancur karena substansinya berasal dari
substansi Tuhan. Selama roh berada dalam badan roh tidak memperoleh kesenangan
yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak akan setara dengan roh pada saat
keluar dari jasad. Ketika setelah roh berderai dari jasad, roh itu baru
mendapat kesenangan yang sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang lebih.
Setelah bercerai dengan badan, roh
akan pergi ke Alam Kebenaran didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan
Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang
dapat pergi ke Alam Kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih pergi
dahulu ke falak bulan. Setelah berhasil membersihkan diri di sana, barulah ia
pindah ke falak Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga
ia akhrinya setelah benar-benar bersih, sampai ke Alam Akal dalam lingkungan
cahaya Tuhan dan melihat Tuhan. ( Harun Nasution, 1999 : 12 ).
Intinya bahwa setiap jiwa, baik
secara langsung maupun tidak, akan mengalami pengembaraan yang berarti
penderitaan dan pensucian dahulu, baru akan memasuki alam ketuhanan dan menikmati
kebahagiaan surgawi yang bersifat spiritual.
Jiwa mempunyai tiga daya : daya
bernafsu ( appetitive ), daya pemarah ( irascible ) dan daya
berpikir ( cognitive facalty ). Daya berpikir itu disebut akal, yang
menurut Al-Kindi ada tiga macam, yaitu akal yang bersifat potensial, akal yang
telah keluar dari sifat potensial menjadi actual dan akal yang telah mencapai
tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersfiat potensial tidak
bisa mempunyai sfat aktual maka tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari
luar. Akal yang menggerakkan dari luar itu, disebut oleh Al-Kindi sebagai akal
yang selamanya dalam aktualitas. Akal inilah yang membuat akal yang bersifat
potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Akal inilah yang membuat akal yang
merupakan akal pertama, selamanya dalam aktualitas, merupakan species dan
genus, membuat akal potensial menjadi aktual berpikir, berbeda dengan akal
potensial bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi ( akli ) jika ia telah mengetahui
universal, jika ia telah memperoleh akal yang di luar itu.
Akal pertama ini bagi Al-Kindi
mengandung arti banyak karena
dia adalah universal. Dalam limpahan Yang Maha Esa, akal inilah
yang pertama-tama
merupakan yang banyak.
C. Keadaan Yang Pertama ( Yang
Esa )
Dalam istilah filsafat, yang dimaksud
dengan istilah “Yang Esa” dari Plotinus ialah bahwa “IQ” menempati tingkatan
tertinggi dari semua tingkatan wujud ini, yang dinamakannya “Yang Pertama” atau
“Wujud Yang Tertingi”. Ia “Esa” dari segala segi, dalam hakikat maupun dalam
gambaran pikiran kita, tidak ada pluralitas dalam zatnya. Karena keesaannya
yang mutlak, maka ia tidak bisa dikatakan “akal” ( pikiran ) ataupun “ma’qul” (
yang dipikirkan ) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas,
sekurang-kurangnya dalam pikiran. Ada “akal” berarti ada “ma’qul” dan ada
ma’qul berarti ada “akal”, meskipun akal dan ma’qul itu zatnya sendiri juga
yang satu itu, ia bukan jauhar, bukan pul aradl ( accident ), sebab kedua
sifat ini tidak lepas satu sama lain, yang berrti juga menimbulkan pluralitas.
( Ahmad Hanafi, 1990 : 34 ).
Untuk mempertahankan keesaan Tuhan
yang mutlak, maka Plotinus menjauhkannya dari segala pemikiran manusia yang
bisa menimbulkan pluralitas, meskipun hanya dalam gambaran pikiran kita. Karena
itu Plotinus mengatakan bahwa ia di luar wujud dan di luar akal pikiran ( tidak
sama dengan yang ada dalam pikiran dan tidak bisa dipikirkan ). Meskipun
Plotinus berusaha untuk tidak mensifati Tuhan dengan sifat-sifat yang bisa
mempengaruhi keesaan-Nya namun ia sendiri mensifati Tuhan dengan sifat
“kebaikan”, meskipun tidak dimasukkan bahwa sifat kebaikan itu berdiri sendiri,
tetapi kebaikan itu adalah hakikat zat Tuhan sendiri. jadi zat dan kebaikan
adalah satu kesatuan. Akan tetapi pensifatan ini tidak bisa mengelakkan yang
diberi kebaikan.
BAB III
S I M P U L A N
v Al-Kindi membagi pengetahuan menjadi 2 kategori
yaitu pengetahuan ilahi dan pengetahuan manusiawi.
v Falsafat termulia ( menurut Al-Kindi ) adalah
falsafat utama, yaitu ilmu yang menjadi sebab bagi segala yang benar.
v Tuhan dalam falsafat Al-Kindi tidak mempunyai
hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah dan tidak merupakan genus dan species.
v Keseluruhan alam adalah terbatas, besar dan
terbatas zamanya; serta massa ,
gerak, dan waktu tidak bisa saling mendahului dalam essensinya.
v Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat yaitu
hakikat juz’i dan kulli.
v Roh berasal dari substansi Tuhan dan
jiwa manusia itu sederhana, mempunyai arti penting serta mulia.
v Jiwa mempunyai tiga daya : daya bernafsu,
pemarah dan berpikir.
v Daya berpikir itu disebut akal, yang menurut
Al-Kindi ada tiga macam yatiu akal potensial, akal yang keluar dari sifat
potensial menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas.
v Selain tiga macam tadi, ada satu lagi yaitu
akal yang selamanya dalam aktualitas.
v Yang Esa ( Plotinus ) adalah ia menempati
tingkatan tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam”, Jakarta ,
Ichtiar Baru Van Hove, 2002.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat
Islam, Jakarta ,
Bulan Bintang, 1990.
Nasution, Harun, Filsafat dan
Mistisisme Dalam Islam, Jakarta ,
Bulan Bintang, 1978
Madjid, Nurcholish, Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta ,
Bulan Bintang, 1994.
0 komentar:
Posting Komentar