Pages

Selasa, 14 Februari 2012

BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)


لاَ الَّتِي لِنَفِيْ الْجِنْسِ

BAB “LAA” YANG MENIADAKAN ISIM JENIS (LAA LI NAFYIL-JINSI)

عَمَلَ إِنَّ اجْعَلْ لِلا فِي نَكِرَهْ مُفْرَدَةً جَاءتْكَ أَوْ مُكَرَّرَهْ

Jadikanlah seperti amal INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya) untuk LAA yg beramal pada isim nakirah, baik LAA itu datang kepadamu secara Mufrod (satu kali) atau secara Mukarror (berulang-ulang).
KETERANGAN BAIT KE 1:
“LAA LI NAFYIL JINSI” termasuk bagian dari huruf-huruf nawasikh yg masuk pada mubtada’-khobar dan merusak I’robnya, beramal seperti INNA (menashabkan isimnya dan merofa’kan khobarnya). Baik diucapkan dengan satu kali (Mufrod), contoh : “LAA ROJULA” FID-DAARI. Atau diucapkan dengan berulang-ulang (Takrir), contoh: “LAA ROJULA” WA “LAA IMRO’ATA” FID-DAARI. Secara khusus berfungsi meniadakan jenis secara keseluruhan, ini membedakan dengan “LAA LI NAFYIL WAHID” yg beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya dan menashabkan khobarnya).
Syarat pengamalan “LAA LI NAFYIL JINSI” adalah :
1. isim dan khobarnya harus nakiroh.
2. tidak boleh ada fashl/pemisah antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMnya.
3. tidak boleh ada huruf jar masuk pada “LAA LI NAFYIL JINSI”.

فَانْصِبْ بِهَا مُضَافَاً أَوْ مُضَارِعَهْ وَبَعْدَ ذَاكَ الْخَبَرَ اذْكُرْ رَافِعَهْ

Nashabkanlah olehmu sebab “LAA” terhadap isimnya yg Mudhaf atau yg menyerupai Mudhaf . setelah itu sebutkanlah khobarnya dengan merofa’kannya.

وَرَكّبِ الْمُفْرَدَ فَاتِحَاً كَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ وَالْثَّانِ اجْعَلاَ

Tarkibkanlah olehmu (menjadikan satu tarkib antara LAA dan Isimnya) terhadap isimnya yg mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf) dengan menfat-hahkannya (menghukumi mabni fathah karena satu tarkib dengan LAA). Seperti: “LAA-HAULA” wa “LAA-QUWWATA”,
Dan terhadap lafazh yg kedua (dari contoh LAA yg diulang-ulang: (1) “LAA-HAULA” wa (2) “LAA-QUWWATA”) boleh kamu jadikan ia.. (lanjut ke bait 4)

مَرْفُوْعَاً أوْ مَنْصُوباً أوْ مُرَكَّباً وَإِنْ رَفَعْتَ أَوَّلاً لاَ تَنْصِبَا

..dirofa’kan atau dinashabkan atau ditarkib, jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua.
KETERANGAN BAIT 2-3-4:
Ada tiga poin yg menyangkut tentang isimnya “LAA LI NAFYIL JINSI”:
1. berupa Mudhaf (tersusun dari susunan idhafah, mudhaf dan mudahf ilaih)
2. berupa Syabihul-Mudhaf (tersusun dengan kalimah lain baik makmulnya/ta’alluqnya/ma’thufnya dll)
3. berupa Mufradah (bukan mudhaf/syabihul-mudhaf, baik isim mufrod, mutsanna, atau jamak)
> Poin yg no 1 dan 2, dihukumi nashab dengan tanda nashabnya secara zhahir, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs.
> Poin yg no 3 dihukumi mabni atas tanda I’rab nashabnya, menempati mahal nashab, dinashabkan oleh “LAA LI NAFYIL JINSI” yg beramal seperti INNA Cs . Dihukumi mabni karena dijadikan satu tarkib antara “LAA LI NAFYIL JINSI” dan Isimnya.
Apabila setelah “LAA LI NAFYIL JINSI” dan ISIMNYA terdapat isim ma’thuf yg berupa isim nakirah dan mufrodah, maka hal seperti ini kadangkala LAA tidak diulang dan kadangkala penyebutan LAA diulang pada isim ma’thufnya, contoh لا حول ولا قوة إلا بالله (LAA HAWLA WA LAA QUWWATA)
Apabila terdapat ma’thuf dan LAA diulang-ulang seperti itu, maka mencakup tiga bacaan:
BACAAN KE SATU : lafazh yg pertama (ma’thuf alaih) dibaca mabni (apabila mufrodah), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 3 jalan:
1. MABNI, LAA yg kedua juga beramal spt INNA, athaf secara jumlah. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATA
2. NASHAB, Athaf kepada mahal nashab isim LAA, dan LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATAN
3. ROFA’, athaf kepada mubtada’ karena “TARKIB LAA DAN ISIMNYA” posisinya sebagai mubtada’, LAA yg kedua tidak beramal dihukumi zaidah sebagai taukid nafi. Atau LAA yg kedua beramal seperti LAISA (merofa’kan isimnya) yg mempunyai faidah sebagai nafi jenis. Atau lafazh yg kedua itu sendiri sebagai Mubtada’ dan LAA yg kedua tidak beramal. Contoh:
laa hawla wa LAA QUWWATUN
BACAAN KE DUA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca nashab (apabila mudhaf atau yg menyerupai mudhaf), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) juga boleh dibaca 3 jalan sebagaimana hukum BACAAN KE SATU diatas, yaitu : MABNI, NASHAB dan ROFA’ (untuk rofa’ tidak boleh untuk alasan athaf kepada mubtada’ sebab isimnya berupa mudhaf/syabih mudhaf).
BACAAN KE TIGA: Lafazh yg pertama (ma’thuf ‘alaih) dibaca Rofa’ (apabila LAA diamalkan seperti LAISA atau karena ada illah yg membuat LAA menjadi Muhmal), maka lafazh yg kedua (ma’thuf) boleh dibaca 2 jalan: 1. MABNI, karena mufrodah. 2. ROFA’, karena athaf pada isim marfu’, atau karena menjadi mubtada dan LAA dihukumi Zaidah, atau sebagai isimnya LAA yg juga diamalkan seperti LAISA.
Untuk BACAAN KE TIGA ini tidak boleh lafazh yg kedua (ma’thuf) dibaca Nashab sebab status LAA pertama disini bukan sebagai Amil nashab, oleh karenanya dalam bait disebutkan “WA IN ROFA’TA AWWALAN LAA TANSHIBAA” (jika kamu mefofa’kan lafazh yg pertama, maka janganlah kamu menashabka lafazh yg kedua).

وَمُفْرَدَاً نَعْتَاً لِمَبْنِيّ يَلِي فَافْتَحْ أَوِ انْصِبَنْ أَوِ ارْفَعْ تَعْدِلِ

Terhadap mufrod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yang na’at secara langsung (tanpa ada pemisah) pada isim LAA yg mabni maka fathahkanlah atau nashabkanlah atau rofa’kanlah demikian kamu adil.
KETERANGAN BAIT KE 5
Apabila ada Isim murfod (bukan mudhaf/shibhul mudhaf) yg na’at pada isimnya LAA nafi jenis yg mabni, dimana na’atnya mengiringi langsung tanpa pemisah, maka boleh Na’at tsb dibaca tiga wajah:
1. MABNI FATHAH, karena dijadikan satu tarkib berikut berbarengan dengan isimnya LAA. Contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFA
2. NASHAB, karena melihat pada mahal nashab isimnya LAA, contoh:
LAA ROJULA ZHORIIFAN
3. ROFA’, karena melihat pada mahal rofa tarkib LAA + ISIMnya yg menempati posisi sebagai mubtada. Contoh:
LAA+ROJULA ZHORIIFUN

وَغَيْرَ مَا يَلِي وَغَيْرَ الْمُفْرَدِ لاَ تَبْنِ وَانْصِبْهُ أَوِ الْرَّفْعَ اقْصِدِ

Na’at yg tidak mengiringi langsung (ada pemisah) dan na’at yg tidak mufrad (mudhaf/syabih mudhaf) janganlah kamu memabnikannya, tapi nashabkanlah atau kehendakilah dengan merofa’kannya.
KETERANGAN BAIT KE 6
Isim yg NA’AT pada isimnya LAA NAFI JINSI yg dimabnikan, boleh dibaca 3 wajah (MABNI, NASHAB, ROFA’) demikian ini apabila NA’AT dan ISIM LAA sama-sama mufrodah dan tidak ada pemisah (lihat bait ke 5)
Kemudian, apabila ada pemisah antara NA’AT dan ISIM LAA yg mabni, atau tidak ada pemisah tapi NA’ATnya tidak mufrodah maka boleh dibaca 2 wajah (NASHAB dan ROFA’) dan tidak boleh MABNI. Contoh:
1. LAA ROJULA FIIHAA ZHARIIFAN/ZHARIIFUN (terdapat fashl)
2. LAA ROJULA SHAAHIBA BIRRIN/SHAAHIBU BIRRIN (tdk terdapat fashl tapi na’at tidak mufrodah)

وَالْعَطْفُ إِنْ لَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ احْكُمَا لَهُ بِمَا لِلْنَّعْتِ ذِي الْفَصْلِ انْتَمَى

Adapun ‘Athaf, jika LAA tidak diulang-ulang maka hukumilah ma’thufnya dengan hukum yg dinisbatkan pada Na’at yg Fashl (boleh nashab dan rofa’ tidak boleh mabni, lihat bait ke 6).
KETERANGAN BAIT KE 7
Pada bait dahulu dijelaskan (bait ke2-3-4) bahwa apabila setelah isim laa ada isim ma’thuf yg nakirah dan mufrodah, maka penyebutan LAA kadang diulang-ulang kadang tidak.
Nah dalam bait ke 7 ini menerangkan tentang hokum ma’thuf pada isim LAA yg mana LAA tidak diulang-ulang.:
Boleh Ma’thuf disini dihukumi dengan bacaan sebagaimana yg terjadi pada hukum isim yg Na’at pada isim LAA yg terdapat Fashl/pemisah (lihat bait ke 6) yaitu NASHAB dan ROFA, tidak boleh MABNI. Salahsatu contoh:
LAA MUDARRISA WA THOOLIBUN/THOOLIBAN FIL MADROSATI
(rofa = athaf pada mahal rofa tarkib LAA+ISIMNYA sebagai mubtada’| nashab = athaf pada mahal nashab isim LAA)

وَأَعْطِ لاَ مَعْ هَمْزَةِ اسْتِفْهَامِ مَا تَسْتَحِقُّ دُوْنَ الاسْتِفْهَامِ

Beikanlah pada LAA NAFI JINSI yg menyertai HAMZAH ISTIFHAM, dengan hukum yg menhakinya ketika tanpa adanya HAMAZAH ISTIFHAM.
KETERANGAN BAIT KE 8
HAMZAH ISTIFHAM yg masuk pada LAA NFYIL JINSI (A LAA) maka hukumnya berlaku sama sebagaimana ketika belum dimasuki HAMZAH ISTIFHAM seperti hukum Isimnya, khobarnya, Na’at, Ma’thuf, Muhmal ketida LAA diulang-ulang dan sebagainya (lihat bait-bait sebelumnya).
Fungsi utama HAMZAH ISTIFHAM (A) disini adalah: mempertanyakan Nafi, yakni sumber khabar nafi tsb benar atau tidak?. Contoh:
A LAA TAAJIRO SHOODIQUN?
Apakah tidak ada pedagang itu jujur?
Atau HAMZAH ISTIFHAM difungsikan sebagai taubikh (teguran) contoh:
A LAA IHSAANA MINKA WA ANTA GHINIYYUN?
Apakah tidak ada kemurahan darimu sedang kamu adalah orang kaya?

وَشَاعَ فِي ذَا الْبَابِ إِسْقَاطُ الْخَبَرْ إِذَا الْمُرَادُ مَعْ سُقُوْطِهِ ظَهَرْ

Mayoritas penggunaan LAA NAFI JENIS dalam bab ini membuang KHOBAR, bilamamana pengertian yg menyertai pembuangan khobar tsb sudah jelas.
KETERANGAN BAIT KE 9
Apabila ada dalil tentang khobar dari LAA NAFI JENIS maka khobarnya cukup dibuang, pembuangan khobar dalah hal ini mayoritas digunakan. Baik dalil tersebut berupa Maqol (perkataan) contoh orang berkata “HAL MIN ROJULIN HAADHIRIN?” maka cukup dijawab “LAA ROJULA”. (TIDAK SORANG PUN = membuang khobar MUJUUDUN = ADA). Atau dalil tsb berupa hal keadaan contoh seseorang berkata pada orang yg keadaan sakit: “LAA BA’SA” (TIDAK APA-APA, membuang khobar ‘ALAIKA = BUAT MU) .
KESIMPULAN:
Mayoritas penggunaan khobar LAA NAFI JINSI adalah dibuang, demikian ini karena maksud/pengertian dari khobar yg terbuang tsb sudah jelas, dan kejelasan suatu khobar takkan terjadi kecuali adanya dalil.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers