Pages

Rabu, 15 Februari 2012

biografi mulla shandra



PEMBAHASAN

A.    Biografi Mulla Shadra

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim Shadr Al-Din                 Al-Syirazi. Dia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 M / 1572 H. Ayahnya adalah seorang pegawai tinggi pada pemerintahan setempat.4)
Mulla Shadra adalah murid pertama dari Syaikh Al-Bahai dan kemudian murid dari Mir Damad, pendiri Mazhab filsafat Islam Isfahan. Dibawah asuhan keduanya Shadra memiliki keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadits dan gnosis ( irfan ).5)
Dalam sebuah autobiografinya disebutkan, bahwa selama empat belas tahun beliau berdiam di Kahak, sebuah desa di sekitar Qum, untuk melakukan uzlah, akibat dituduh sebagai seorang yang murtad oleh para seterunya.                Ia meninggal di Basra pada tahun 1050 / 1640 ketika kembali dari perjalanan hajinya yang ketujuh dengan jalan kaki ke Mekkah.6)
Para sejarahwan membagi hayat Shadra ke dalam tiga periode : periode pertama, dia menempuh pendidikan formalnya di bahwa asuhan guru-guru terbaik pada zaman itu. Di bahwa asuhan Baha’ Al-Din Al-Amali ( w. 1622 ) ia menerima pendidikan dalam tradisi Syi’ah. Selanjutnya, dia mempelajari              ilmu-ilmu filsafat di bawah asuhan Mir Damad. Dan setelah menempuh pendidikan formalnya, Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadapnya dari kaum syiah dogmatis.
Periode kedua, dia menarik diri dari khalayak ramai dan menjalani uzlah disebuha desa kecil dekat Qum. Selama periode ini, pengetahuan yang pernah diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh dan kreatifitasnya menemukan tempat penyalurannya.
Dalam periode ketiga, dia kembali sebagai pengajar di Syiraz dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan resmi di Isfahan. Semua karya pentingnya dihasilkan dalam periode ini.7)

B.     Karya-Karya Mulla Shadra
Karya-karya Mulla Shadra ada yang berupa komentar-komentar, diantaranya ada komentar terhadap Hikmah Al-Isyraqi Al-Suhrawardi,                  Al-Hidayah Fil Hikmah Atsir Al-Din Al-Abhari dan terdapat bagian dari Al-Shifa’ Ibnu Sina.8)
Disamping itu ia juga menulis beberapa karya yang orisinal. Diantaranya yang sampai kepada kita adalah :
1)      Penciptaan dalam waktu ( huduts )
2)      Tentang kebangkitan ( Al-Hasyr )
3)      Tentang pemberian wujud kepada esensi
4)      Tentang takdir dan kehendak bebas
5)      Al-Masyair
6)      Kasr Ashnam Al-Jahiliyyah
7)      Al-Hikmah Al-Mutalliyah
Mulla Shadra menyusun sekitar lima puluh buku dan diantara                  karya-karyanya itu kitab Hikmah Al-Mutaalliyah adalah yang sangat monumental. Kitab ini juga disebut Al-Asfar Al-Arbaah. Karya ini barang kali dapat digambarkan sebagai Summa Philosophiae Al-Syirazi karena ia merupakan dasar dari semua risalah pendeknya sendiri dan juga risalah pemikiran                 pasca – Evecennian pada umumnnya.9)





C.    Filsafat Mulla Shadra
1.      Kesejatian Wujud
Masalah kesejatian wujud merupakan induk filsafat Mulla Shadra dan akar yang darinya tumbuh berbagai cabang dan ranting.
Menurut Mulla Shadra dalam mengamati segala sesuatu benak manusia menangkap dua makna ( konsep ); yang pertama adalah esensi dan yang kedua adalah wujudnya. Esensi merupakan rekaan benak manusia belaka. Sedangkan sisi yang memberikan efek dan membentuk bangunan alam semesta adalah sisi wujud, bukan sisi esensi. Kesimpulannya, wujud adalah asal-usul realitas tunggal yang mencakup segala sesuatu.10)
2.      Wacana Gerak
Ditangan Mulla Shadra, wacana gerak mengalami perubahan yang signifikan, suatu perubahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya dan belum pernah tertandingi baik di Barat maupun di Timur.
Bertolak dari kesejatian wujud, Mulla Shadra membuktikan bahwa segenap alam dan semua benda senantiasa dalam fluktuasi yang konstan                ( gerakan yang terus-menerus ). Dan gerakan suatu benda tidak terbatas pada aksiden-aksiden dan keadaan-keadaan luarnya tetapi juga meliputi substansinya. Semua substansi dan benda terus berubah sedemikian rupa, sehingga segala sesuatu sebenarnya tidak lain merupakan pergerakan dan perubahan kemenjadian dan peralihan itu sendiri.11)
Jika para pemikir terdahulu menyatakan bahwa benda terbagai menjadi yang menetap dan yang merubah ; filsafat Mulla Shadra menyatakan kemustahilan adanya sifat tetap dan stabil pada benda. Sementara pemikir terdahulu menjadikan jisim ( benda ) menjadi dasar pembagian ; filsafat Mulla Shadra menjadikan wujud sebagai dasar pembagian, dengan menyatakan. Menurutnya, wujud terbagi pada yang bersifat menetap dan berada di luar wilayah fisik, sedangkan wujud yang bergerak identik dengan keseluruhan alam fisik.12)
3.      Asal-Usul Materi, Bentuk dan Evolusi
Selain Mulla Shadra, tidak ada yang sanggup memberikan gambaran yang cermat tentang evolusi ; bahkan kalangan yang menyangka bahwa manusia merupakan perkembangan lanjutan dari satu spesies binatang, sebenarnya tidak memberikan gambaran yang benar tentang evolusi, karena perkembangan semacam itu tidak bisa kita sebut sebagai penyempurnaan yang sesungguhnya. Dalam gambaran itu, perbedaan antara manusia dan binatang sama saja dengan perbedaan antara pesawat jenis lama dan pesawat jenis baru.13)
Dengan mengikuti prinsip gerak substansial, gambaran evolusi alam dan manusia mendapatkan pijakan yang kukuh, perubahan evolusioner tidak hanya terjadi pada tatanan aksiden dan bentuk luarnya suatu benda, tetapi juga terjadi pada tatanan substansial dan zatnya.14)
4.      Kemanunggalan Tubuhn dan Jiwa
Masalah ini termasuk topik yang memunculkan perbedaan pandangan yang ekstrim. Ada yang berpandangan bahwa manusia tidak lebih dari sosok tubuh yang tidak berjiwa, ada pula yang meyakini sebaliknya ( kesejatian jiwa ).
Salah satu teori yang terkenal dalam masalah ini adalah teori dualisme yang berpendapat bahwa ruh dan tubuh mempunyai substansi yang berbeda. Dalam teori ini terdapat pula perbedaan. Menurut Plato, jiwa terwujud sebelum tubuh dan jiwa baru bergabung dengan tubuh setelah tubuh mengemuka. Sedangkan Aristoteles dan Ibnu Sina berpendapat bahwa ruh dan tubuh tercipta secara serentak dan terwujud dalam waktu yang sama.15)
Bertolak bekalang dengan gagasan termaktub, filsafat Mulla Shadra berhasil memecahkan masalah ini dengan tuntas. Mulla Shadra menegaskan bahwa tubuh akan berubah menjadi ruh dalam proses penyempurnaannya. Dengan demikian ruh bukanlah barang yang dikandung oleh tubuh pada masa hidupnya dan menghilang pada waktu matinya. Dari sinilah Mulla Shadra menyimpulkan tiadanya dikotomi yang menyebabkan kita terjebak pada pemikiran dualistik. Ia merumuskan sebuah kaidah Al-Nafs Jismaniyyah              Al-Huduts Ruhaniyyah Al-Baqa ( Jiwa bermula secara material dan kekal secara spiritual ).
5.      Gagasan Tentang Universal
Konsep atau gagasan universal dapat didefinisikan secara sederhana sebagai konsep yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual. Sebaliknya konsep partikular ialah konsep atau gagasan yang hanya bisa diterapkan untuk satu objek individual.
Mulla Shadra membeberkan adanya beberapa tahapan perkembangan di dalam daya khayal, daya nalar, daya indra dan tahapan-tahapan perkembangan lainnya. Tiap-tiap tahapan melahirkan konsep universalnya masing-masing, misalnya objek fisik merupakan kesan partikular yang terekam dalam sensorium dan kesan partikular ini muncul sebagai sosok yang berbeda pada daya khayal kita.
Gagasan universal tidak terjadi di dalam daya khayal kita, tetapi             di dalam rasio yang berperan memungut kesan ( inderawi ) yang sudah mengendap di dalam daya khayal. Medan perwujudan nasional manusia sangatlah luas sehingga dapat mencakup gagasan universal dan partikular. Dalam medan itulah kesan partikular bisa meningkat menjadi universal.16)
6.      Kemanunggalan objek dan subjek akal
Persoalan ini merupakan salah satu wacana yang muncul dalam filsafat Mulla Shadra. Di abad modern, Immanuel Kant ( 1729 – 1804 M ) juga membahas pokok soal yang sama. Walaupun dengan tujuan yang berbeda. Intinya, ketika seseorang mengindra suatu objek, apakah objek pengindraan berbeda atau bagian darinya ?. Dengan perkataan lain apakah objek pengetahuan itu identik dengan wujud manusia ?.
Salah satu dasar pemikiran Islam ialah bahwa manusia identik dengan pikiran-pikiran yang terdapat dalam lubuk hatinya. Jika engkau berpikir tentang mineral, engkaulah ilmu itu ; jika engkau menuntut ilmu, engkaulah ilmu itu ; dan jiwa engkau mencari kehormatan, engkaulah kehormatan itu. Para penyair memang acap bersajak seperti itu, akan tetapi satu-satunya filsafat yang turun ke lapangan untuk membuktikan klaim-klaim itu tiada lain dan tiada bukan adalah filsafat Mulla Shadra.17)


BAB  IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian-uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Filsafat Mulla Shadra adalah karya orisinal. Ia tidak terjebak oleh pemikiran pendahulunya.
2.      Kebenaran sejati menurut Mulla Shadra adalah filsafat yang dipertalikan dengan kebenaran wahyu.
3.      Nama lengkap Mulla Shadra adalah Muhammad Ibn Ibrahim Al-Syirazi.                  Ia adalah murid dari Mir Damad dan Syaikh Al-Baha’i.
4.      Shadra menyusun sekitar lima puluh buku, dan yang paling monumental            adalah Asfar Al-Anbaah.
5.      Ada beberapa isu yang diangkat dalam filsafat Mulla Shadra dan yang           terpenting adalah masalah kesejatian wujud.
6.      Tubuh akan berubah menjadi ruh dalam proses penyempurnaannya.                 Ruh bukanlah barang asing yang dikandung oleh tubuh.







DAFTAR  PUSTAKA


Fatimah, Irma ( editor ), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.
Muthahari, Murtadha, Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, Bandung : Mizan, 2002.
Nasr, Sayyid Hassein, Intelektual Islam : Teologi, Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta : CIIS Press, 1995.
Smith, Huston, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta : Raja Grafindo, 1999.


1) Irma Fatimah ( editor ), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, ( Yogyakarta : LESFI, 1992 ), hlm. 97.
2) Murtadha Muthahari, Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra, ( Bandung : Mizan, 2002 ), hlm. 73.
3) Ibid.
4) Huston Smith, Ensiklopedi Islam Ringkas, ( Jakarta : Raja Grafindo, 1999 ), hlm. 206.
5) Murtadha Muthahari, Op.Cit, hlm. 13.
6) Ibid.
7) Ibid, hlm. 14.
8) Irma Fatimah (ed. ), Op.Cit, hlm. 96.
9) Sayyid Hassein Nasr, Intelektual Islam : Teologi, Filsafat dan Gnosis, ( Yogyakarta : CIIS Press, 1995 ), hlm. 82
10) Muthahari, Op.Cit, hlm. 102.
11) Ibid, hlm. 104.
12) Ibid.
13) Ibid, hlm. 107.
14) Ibid.
15) Ibid, hlm. 108.
16) Ibid.
17) Ibid. hlm. 112.

0 komentar:

Posting Komentar

Followers