PEMBAHASAN
A. Biografi Mulla Shadra
Nama lengkapnya adalah Muhammad
Ibn Ibrahim Shadr Al-Din
Al-Syirazi. Dia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 M / 1572 H. Ayahnya
adalah seorang pegawai tinggi pada pemerintahan setempat.4)
Mulla Shadra adalah murid pertama
dari Syaikh Al-Bahai dan kemudian murid dari Mir Damad, pendiri Mazhab filsafat
Islam Isfahan. Dibawah asuhan keduanya Shadra memiliki keunggulan ilmu di
bidang filsafat, tafsir, hadits dan gnosis ( irfan ).5)
Dalam sebuah autobiografinya
disebutkan, bahwa selama empat belas tahun beliau berdiam di Kahak, sebuah desa
di sekitar Qum, untuk melakukan uzlah, akibat dituduh sebagai seorang yang
murtad oleh para seterunya.
Ia meninggal di Basra pada tahun 1050 / 1640 ketika kembali dari
perjalanan hajinya yang ketujuh dengan jalan kaki ke Mekkah.6)
Para sejarahwan membagi hayat Shadra
ke dalam tiga periode : periode pertama, dia menempuh pendidikan
formalnya di bahwa asuhan guru-guru terbaik pada zaman itu. Di bahwa asuhan
Baha’ Al-Din Al-Amali ( w. 1622 ) ia menerima pendidikan dalam tradisi Syi’ah.
Selanjutnya, dia mempelajari
ilmu-ilmu filsafat di bawah asuhan Mir Damad. Dan setelah menempuh pendidikan
formalnya, Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit
terhadapnya dari kaum syiah dogmatis.
Periode kedua, dia menarik diri dari khalayak ramai dan menjalani uzlah disebuha
desa kecil dekat Qum. Selama periode ini, pengetahuan yang pernah diperolehnya
mengalami kristalisasi yang semakin utuh dan kreatifitasnya menemukan tempat
penyalurannya.
Dalam periode ketiga, dia kembali
sebagai pengajar di Syiraz dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki
jabatan resmi di Isfahan. Semua karya pentingnya dihasilkan dalam periode ini.7)
B.
Karya-Karya
Mulla Shadra
Karya-karya Mulla Shadra ada yang
berupa komentar-komentar, diantaranya ada komentar terhadap Hikmah
Al-Isyraqi Al-Suhrawardi,
Al-Hidayah Fil Hikmah Atsir Al-Din Al-Abhari dan terdapat bagian
dari Al-Shifa’ Ibnu Sina.8)
Disamping itu ia juga menulis
beberapa karya yang orisinal. Diantaranya yang sampai kepada kita adalah :
1)
Penciptaan
dalam waktu ( huduts )
2)
Tentang
kebangkitan ( Al-Hasyr )
3)
Tentang
pemberian wujud kepada esensi
4)
Tentang
takdir dan kehendak bebas
5)
Al-Masyair
6)
Kasr
Ashnam Al-Jahiliyyah
7)
Al-Hikmah
Al-Mutalliyah
Mulla Shadra menyusun sekitar lima
puluh buku dan diantara
karya-karyanya itu kitab Hikmah Al-Mutaalliyah adalah yang sangat
monumental. Kitab ini juga disebut Al-Asfar Al-Arbaah. Karya ini barang
kali dapat digambarkan sebagai Summa Philosophiae Al-Syirazi karena ia
merupakan dasar dari semua risalah pendeknya sendiri dan juga risalah
pemikiran pasca –
Evecennian pada umumnnya.9)
C.
Filsafat
Mulla Shadra
1.
Kesejatian
Wujud
Masalah kesejatian wujud merupakan
induk filsafat Mulla Shadra dan akar yang darinya tumbuh berbagai cabang dan
ranting.
Menurut Mulla Shadra dalam mengamati
segala sesuatu benak manusia menangkap dua makna ( konsep ); yang pertama
adalah esensi dan yang kedua adalah wujudnya. Esensi merupakan rekaan benak
manusia belaka. Sedangkan sisi yang memberikan efek dan membentuk bangunan alam
semesta adalah sisi wujud, bukan sisi esensi. Kesimpulannya, wujud adalah
asal-usul realitas tunggal yang mencakup segala sesuatu.10)
2.
Wacana
Gerak
Ditangan Mulla Shadra, wacana
gerak mengalami perubahan yang signifikan, suatu perubahan yang tidak pernah
terjadi sebelumnya dan belum pernah tertandingi baik di Barat maupun di Timur.
Bertolak dari kesejatian wujud, Mulla
Shadra membuktikan bahwa segenap alam dan semua benda senantiasa dalam
fluktuasi yang konstan (
gerakan yang terus-menerus ). Dan gerakan suatu benda tidak terbatas pada
aksiden-aksiden dan keadaan-keadaan luarnya tetapi juga meliputi substansinya.
Semua substansi dan benda terus berubah sedemikian rupa, sehingga segala
sesuatu sebenarnya tidak lain merupakan pergerakan dan perubahan kemenjadian
dan peralihan itu sendiri.11)
Jika para pemikir terdahulu
menyatakan bahwa benda terbagai menjadi yang menetap dan yang merubah ;
filsafat Mulla Shadra menyatakan kemustahilan adanya sifat tetap dan stabil
pada benda. Sementara pemikir terdahulu menjadikan jisim ( benda ) menjadi
dasar pembagian ; filsafat Mulla Shadra menjadikan wujud sebagai dasar
pembagian, dengan menyatakan. Menurutnya, wujud terbagi pada yang bersifat
menetap dan berada di luar wilayah fisik, sedangkan wujud yang bergerak identik
dengan keseluruhan alam fisik.12)
3.
Asal-Usul
Materi, Bentuk dan Evolusi
Selain Mulla Shadra, tidak ada
yang sanggup memberikan gambaran yang cermat tentang evolusi ; bahkan kalangan
yang menyangka bahwa manusia merupakan perkembangan lanjutan dari satu spesies
binatang, sebenarnya tidak memberikan gambaran yang benar tentang evolusi,
karena perkembangan semacam itu tidak bisa kita sebut sebagai penyempurnaan
yang sesungguhnya. Dalam gambaran itu, perbedaan antara manusia dan binatang
sama saja dengan perbedaan antara pesawat jenis lama dan pesawat jenis baru.13)
Dengan mengikuti prinsip gerak
substansial, gambaran evolusi alam dan manusia mendapatkan pijakan yang kukuh,
perubahan evolusioner tidak hanya terjadi pada tatanan aksiden dan bentuk
luarnya suatu benda, tetapi juga terjadi pada tatanan substansial dan zatnya.14)
4.
Kemanunggalan
Tubuhn dan Jiwa
Masalah ini termasuk topik yang
memunculkan perbedaan pandangan yang ekstrim. Ada yang berpandangan bahwa
manusia tidak lebih dari sosok tubuh yang tidak berjiwa, ada pula yang meyakini
sebaliknya ( kesejatian jiwa ).
Salah satu teori yang terkenal dalam
masalah ini adalah teori dualisme yang berpendapat bahwa ruh dan tubuh
mempunyai substansi yang berbeda. Dalam teori ini terdapat pula perbedaan.
Menurut Plato, jiwa terwujud sebelum tubuh dan jiwa baru bergabung dengan tubuh
setelah tubuh mengemuka. Sedangkan Aristoteles dan Ibnu Sina berpendapat bahwa
ruh dan tubuh tercipta secara serentak dan terwujud dalam waktu yang sama.15)
Bertolak bekalang dengan gagasan
termaktub, filsafat Mulla Shadra berhasil memecahkan masalah ini dengan tuntas.
Mulla Shadra menegaskan bahwa tubuh akan berubah menjadi ruh dalam proses
penyempurnaannya. Dengan demikian ruh bukanlah barang yang dikandung oleh tubuh
pada masa hidupnya dan menghilang pada waktu matinya. Dari sinilah Mulla Shadra
menyimpulkan tiadanya dikotomi yang menyebabkan kita terjebak pada pemikiran
dualistik. Ia merumuskan sebuah kaidah Al-Nafs Jismaniyyah Al-Huduts Ruhaniyyah Al-Baqa
( Jiwa bermula secara material dan kekal secara spiritual ).
5.
Gagasan
Tentang Universal
Konsep atau gagasan universal
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai konsep yang bisa diterapkan pada
lebih dari satu objek individual. Sebaliknya konsep partikular ialah konsep
atau gagasan yang hanya bisa diterapkan untuk satu objek individual.
Mulla Shadra membeberkan adanya
beberapa tahapan perkembangan di dalam daya khayal, daya nalar, daya indra dan
tahapan-tahapan perkembangan lainnya. Tiap-tiap tahapan melahirkan konsep
universalnya masing-masing, misalnya objek fisik merupakan kesan partikular
yang terekam dalam sensorium dan kesan partikular ini muncul sebagai sosok yang
berbeda pada daya khayal kita.
Gagasan universal tidak terjadi di
dalam daya khayal kita, tetapi
di dalam rasio yang berperan memungut kesan ( inderawi ) yang sudah
mengendap di dalam daya khayal. Medan perwujudan nasional manusia sangatlah
luas sehingga dapat mencakup gagasan universal dan partikular. Dalam medan
itulah kesan partikular bisa meningkat menjadi universal.16)
6.
Kemanunggalan
objek dan subjek akal
Persoalan ini merupakan salah satu
wacana yang muncul dalam filsafat Mulla Shadra. Di abad modern, Immanuel Kant (
1729 – 1804 M ) juga membahas pokok soal yang sama. Walaupun dengan tujuan yang
berbeda. Intinya, ketika seseorang mengindra suatu objek, apakah objek
pengindraan berbeda atau bagian darinya ?. Dengan perkataan lain apakah objek
pengetahuan itu identik dengan wujud manusia ?.
Salah satu dasar pemikiran Islam
ialah bahwa manusia identik dengan pikiran-pikiran yang terdapat dalam lubuk
hatinya. Jika engkau berpikir tentang mineral, engkaulah ilmu itu ; jika engkau
menuntut ilmu, engkaulah ilmu itu ; dan jiwa engkau mencari kehormatan,
engkaulah kehormatan itu. Para penyair memang acap bersajak seperti itu, akan
tetapi satu-satunya filsafat yang turun ke lapangan untuk membuktikan klaim-klaim
itu tiada lain dan tiada bukan adalah filsafat Mulla Shadra.17)
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1.
Filsafat
Mulla Shadra adalah karya orisinal. Ia tidak terjebak oleh pemikiran pendahulunya.
2.
Kebenaran
sejati menurut Mulla Shadra adalah filsafat yang dipertalikan dengan kebenaran
wahyu.
3.
Nama
lengkap Mulla Shadra adalah Muhammad Ibn Ibrahim Al-Syirazi. Ia adalah murid dari Mir
Damad dan Syaikh Al-Baha’i.
4.
Shadra
menyusun sekitar lima puluh buku, dan yang paling monumental adalah Asfar Al-Anbaah.
5.
Ada
beberapa isu yang diangkat dalam filsafat Mulla Shadra dan yang terpenting adalah masalah kesejatian
wujud.
6.
Tubuh akan
berubah menjadi ruh dalam proses penyempurnaannya. Ruh bukanlah barang asing yang
dikandung oleh tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Fatimah, Irma ( editor ), Filsafat Islam Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.
Muthahari, Murtadha, Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran
Shadra, Bandung : Mizan, 2002.
Nasr, Sayyid Hassein, Intelektual Islam : Teologi,
Filsafat dan Gnosis, Yogyakarta : CIIS Press, 1995.
Smith, Huston, Ensiklopedi Islam Ringkas, Jakarta :
Raja Grafindo, 1999.
1) Irma Fatimah ( editor ), Filsafat Islam Kajian Ontologis,
Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif, ( Yogyakarta : LESFI, 1992
), hlm. 97.
2) Murtadha Muthahari, Filsafat Hikmah : Pengantar Pemikiran Shadra,
( Bandung : Mizan, 2002 ), hlm. 73.
3) Ibid.
4) Huston Smith, Ensiklopedi
Islam Ringkas, ( Jakarta : Raja Grafindo, 1999 ), hlm. 206.
5) Murtadha Muthahari, Op.Cit,
hlm. 13.
6) Ibid.
7) Ibid, hlm. 14.
8) Irma Fatimah (ed. ), Op.Cit,
hlm. 96.
9) Sayyid Hassein Nasr, Intelektual Islam : Teologi, Filsafat dan
Gnosis, ( Yogyakarta : CIIS Press, 1995 ), hlm. 82
10) Muthahari, Op.Cit, hlm. 102.
11) Ibid, hlm. 104.
12) Ibid.
13) Ibid, hlm. 107.
14) Ibid.
15) Ibid, hlm. 108.
16) Ibid.
17) Ibid. hlm. 112.
0 komentar:
Posting Komentar