RUJUK SESUDAH TALAK
Talak itu ada 2 macam yaitu talak
ba’in dan talak raj’i. Demikian juga dengan hukum rujuk, oleh karena itu dalam
bab ini ada 2 pembahasan. Pertama hukum rujuk pada talak raj’i dan kedua hukum
rujuk pada talak ba’in.
1)
Hukum
rujuk pada talak raj’i.
Umat
muslim sependapat bahwa suami mempunyai hak untuk merujuk mantan isteri pada
talak raj’i. Selama masa iddah tanpa mempertimbangkan ijin atau persetujuan
isteri. Talak raj’i terjadi dengan syarat isteri sudah pernah digauli. Fuqoha
bersepakat rujuk dapat terjadi dengan adanya perkataan ( qaul ) dan saksi.
Fuqoha
berbeda pendapat tentang : Apakah saksi merupakan syarat sah rujuk atau tidak ?
dan apakah rujuk sah dengan bersetubuh ?
a)
Saksi
dalam rujuk
-
Menurut
Imam Malik bahwa saksi itu sunah.
-
Menurut
Imam Syafi’i bahwa saksi itu wajib.
b)
Cara
merujuk dan bolehkan merujuk dengan persetubuhan.
-
Menurut
Imam Syafi’i rujuk hanya dapat terjadi dengan perkataan ( qaul ) hal ini
disamakan dengan perkawinan yang harus ada persaksian didalamnya dan persaksian
hanya tidak dapat terjadi kecuali dengan perkataan.
-
Ada
pendapat yang menyatakan rujuk dapat terjadi dengan persetubuhan dan dalam hal
ini ada dua pendapat.
-
Menurut
Imam Malik rujuk dengan persetubuhan dianggap sah bila hal ini disertai dengan
niat.
-
Menurut
Abu Hanifah rujuk dengan persetubuhan dianggap sah ketika disertai niat atau
tanpa niat.
c)
Fuqoha
berbeda pendapat tentang batas-batas kebolehan suami melihat isteri yang
ditalak raj’i selama dalam masa iddah.
-
Menurut
Imam Malik, suami tidak boleh berduaan dengan isteri ditempat sepi, tidak boleh
masuk kekamarnya kecuali atas izin suaminya, tidak boleh melihat rambutnya,
tetapi dia membolehkan suami dan isteri makan bersama ditempat ramai.
-
Menurut
Abu Hanifah, isteri boleh berhias untuk suaminya, memakai wewangian,
menampakkan jari-jemari dan pakai celak. Pendapat ini juga dikemukakan Tsauri,
Abu Yusuf dan Auza’i, dan mereka berpendapat suami tidak boleh masuk ke kamar
isteri kecuali isteri mengetahuinya baik dengan perkataan, gerakan seperti
mendehem atau suara sandal.
d)
Perbedaan
pendapat juga terjadi dalam hal suami yang menolak isterinya dengan talak raj’i
sedang dia tidak ditempat ( pergi ). Kemudian dia merujuk lagi namun berita
yang sampai pada isteri adalah talak sedang rujuknya tidak sampai. Setelah habis
masa iddah isteri menikah dengan laki-laki lain.
-
Menurut
Imam Malik, laki-laki yang mengawini itu lebih berhak baik sudah disetubuhi
atau belum disetubuhi. Demikian juga Auza’i dan Laits.
-
Menurut
Imam Syafi’i, Abu Hanifah, ulama Kufah dan lainnya. Suaminya yang telah
merujuknya itu yang berhak baik yang kedua sudah mensetubuhi atau belum.
Demikian juga Abu Daud dan Abu Tsur.
2)
Hukum
rujuk dalam talak ba’in.
a.
Talak
ba’in selain terjadi karena talak tiga juga talak yang dijatuhkan pada
perempuan yang belum disetubuhi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat,
dan juga disebabkan karena khuluk, disini ada perbedaan pendapat. Apakah talak
juga jatuh bila tanpa adanya iwadl ? ini juga terjadi perbedaan pendapat.
Hukum
rujuk dalam talak ba’in itu sama dengan hukum awal nikah baik syarat-syaratnya,
maskawin, wali atau keridhaan ( izin ). Menurut jumhur rujuk ini tanpa
memperhatikan apakah iddah selesai atau belum sebagian kecil ulama ada yang
mengatakan bahwa perempuan yang minta khuluk itu tidak bisa dinikahi lagi oleh
suaminya pada masa iddah atau selain masa iddah.
Adapun
wanita yang ditalak tiga menurut ulama tidak boleh dirujuk lagi oleh suami
seleum dia bersetubuh ( dengan suami kedua ). Menurut Sa’id bin Musib dia boleh
rujuk dengan akad yang baru.
Yang menyebabkan
isteri halal dinikahi lagi :
-
Menurut
para fuqoha, cukup dengan bertemunya dua alat kelamin.
-
Menurut
Hasan Bisri, harus dengan setubuh dan sampai keluar sperma.
-
Menurut
Imam Malik dan Ibnul Qosim, isteri zimmi tidak halal bagi orang Islam bila disetubuhi
orang zimmi.
-
Menurut
Imam Syafi’i, Abu Hanifah, Tsauri, Auza’i, setiap persetubuhan menyebabkan
kehalalan.
b.
Nikah
Muhallil
Nikah
muhallil adalah pernikahan yang dilakukan oleh orang kedua untuk menghalalkan
rujuknya suami pertama.
-
Menurut
Imam Malik, nikah muhallil itu batal atau rusak dan harus difasakh sebelum
maupun sesudah bersetubuh dan tidak berakibat halalnya isteri bagi suami
pertama.
-
Menurut
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, nikah muhallil dibolehkan dan tetap sah.
-
Menurut
Abu Daud dan sekelompok fuqoha berpendapat nikah muhallil menyebabkan kehalalan
isteri bagi suami pertama.
-
Menurut
Abi Laila, Tsauri, lain nikah muhallil boleh namun tidak menyebabkan isteri
halal bagi suami pertama.
Perbedaan
pendapat terjadi dalam hal ketika isteri ditalak dua atau satu kemudian kawin
lagi dan suami pertama merujuknya apakah bilangan talak satu dan duanya gugur
atau rusak.
-
Menurut
Abu Hanifah hal tersebut menggugurkan.
-
Menurut
Imam Malik dan Imam Syafi’i tidak menggugurkan.
IDDAH DAN MUT’AH
Iddah
Untuk pembahasan iddah dibagi
menjadi dua pembahasan : iddah isteri-isteri ( yang ditalak ), iddah karena
kematian.
1.
Iddah
isteri-isteri ( yang ditalak ) ada dua bahasan :
- Lamanya waktu iddah.
-
Bagi
perempuan yang ditalak oleh suaminya sedangkan dia sama sekali belum digauli,
maka ulama berijma tidak ada iddah baginya.
-
Perempuan
yang ditalak atau cerai dengan suaminya, sedangkan dia masih mempunayi atau
bisa haid, iddahnya adalah tiga quru’.
-
Perempuan
yang ditalak atau cerai dengan suaminya, sedangkan dia dalam keadaan hamil,
iddahnya adalah sampai dia melahirkan.
-
Perempuan
yang ditalak atau cerai dengan suaminya, sedangkan dia sudah memasuki masa
menopouse ( berhenti haid ) iddahnya tiga bulan terdapat perbedaan pendapat
dikalangan fuqoha tentang makna quru’.
-
Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, mayoritas fuqoha Madinah, Abu Tsaur, dan segolongan
fuqoha, dan dari shohabat Ibnu Umar, Zaid bin Tsabir, Aisyah, bahwa quru’ itu
adanya suci.
-
Menurut
Abu Hanifah, Tsauri, Auza’i, Ibnu Abi Laila, dan segolongan fuqoha dari sahabat
Ali, Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, Abu Musa bahwa quru’ adalah haid.
Perbedaan kedua pendapat diatas,
bagi yang berpendapat quru’ adalah masa suci maka bila isteri yang ditalak
memasuki haid yang ketiga suami sudah tidak dapat merujuk lagi. Sedang bagi
yang berpendapat quru’ adalah haid, maka suami tidak dapat merujuk lagi setelah
selesai haid ketiga.
Bagi yang pendapat quru’ itu suci
maka iddah selesai ketika isteri masuk dalam masa haid ketiga, sedang bagi yang
berpendapat quru’ itu haid ada beberapa pendapat tentang berakhirnya iddah.
-
Menurut
Auza’i, iddah berakhir dengan berhentinya darah haid ketiga.
-
Menurut
Umar, Ibnu Mas’ud, Tsauri, Ishaq bin Ubaid, Iddah berakhir ketika isteri mandi
dari haid yang ketiga.
-
Ada yang
mengatakan iddah berakhir sampai isteri melewati waktu shalat ketika dua sudah
suci.
-
Ada yang
mengatakan suami masih dapat merujuk isteri meski isteri lalai mandi, sampai
dua puluh tahun pendapat ini diriwayatkan syara’ik.
-
Ada yang
menyatakan iddah berakhir manakala isteri memasuki haid yang ketiga.
Sedang untuk suci yang sudah tidak
mengalami haid sedangkan dia masih berada pada usia haid maka :
-
Menurut
Imam Malik, ia harus menunggu sembilan bulan, jika tidak hamil maka ia
menjalani iddah selama tiga bulan.
-
Menurut
Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan jumhur fuqoha maka perempuan itu harus menunggu
hingga masa usia berhenti haid ( menopouse ).
Mengenai wanita yang terkena
istihadhoh :
-
Menurut
Imam Malik iddahnya satu tahun.
-
Menurut
Abu Hanifah, iddahny aadalah bilangan haid.
-
Menurut
Imam Syafi’i, iddahnya berdasar pada pembedaan darah. Darah merah tua adalah
haid, darah kuning adalah hari-hari suci.
Mengenai perempuan / isteri yang
tidak merdeka ( hamba ) :
-
Bila masih
haid :
a.
Menurut
jumhur iddahnya dua kali haid.
b.
Menurut
fuqoha zahiri, ibnu sina, iddahnya tidak kali haid.
-
Bila sudah
tidak usia haid :
a.
Menurut
Imam Malik dan kebanyakan fuqoha Madinah iddahnya tiga bulan.
b.
Menurut
Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Abu Tsur, iddahnya satu setengah bulan.
- Hak-hak isteri selama masa iddah
Para fuqoha sependapat bagi
perempuan yang ditalak raj’i berhak atas nafkah dan tempat tinggal, begitu pula
yang hamil. Sedangkan untuk isteri yang ditalak tiga dan tidak hamil ada tiga
pendapat :
-
Menurut
fuqoha taufah, isteri berhak tempat tinggal dan nafkah.
-
Menurut
Ahmad, Daud, Abu Tsaur, Ishaq, isteri tidak berhak nafkah dan tempat tinggal.
-
Menurut
Imam Malik dan Imam Syafi’i, hanya dapat tempat tinggal, nafkah tidak.
2.
Iddah
karena ditinggal mati.
Kaum muslim sepakat bahwa iddah
isteri yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulank sepuluh hari, dan
mereka berbeda pendapat tentang suami yang hamil, hamba atau tudak, jika tidak
haid dalam empat bulan sepuluh hari tersebut bagaimana hukumnya ?
-
Menurut
Imam Malik, isteri tersebut menjalani iddah hamil.
-
Menurut
riwayat Ibnu Qosim dari Imam Malik bila iddah kematian telah berlaku, sedang
tidak ada tanda kehamilan maka ia boleh kawin lagi demikian juga pendapat Abu
Hanifah, Imam Syafi’i dan Tsauri.
Untuk iddah isteri yang ditinggal
mati dalam keadaan hamil :
-
Menurut
Jumhur iddahnya adalah sampai melahirkan.
-
Menurut
Imam Malik iddahnya adalah masa yang paling akhir dari dua iddah ( iddah hamil
dan iddah ditinggal mati ).
Iddah bagi perempuan hamba sahaya :
-
Jika
berstatus isteri jumhur berpendapat iddahnya separuh dari perempuan merdeka.
-
Menurut
fuqoha zhohiri iddahnya sama dengan perempuan merdeka.
-
Sedang
jika berstatus Umu Walad menurut Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad Al-Laits,
Abu Tsaur iddahnya satu kali haid.
-
Jika Umu
walat tersebut sudah tidak haid menurut Imam Malik iddahnya tiga bulan.
-
Menurut
Abu Hanifah, Tsauri iddahnya tigak kali haid.
-
Segolongan
fuqoha berpendapat iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Mut’ah
Menurut jumhur dalam perceraian
mut’ah tidaklah diwajibkan. Menurut Ahli Dhohir wajib, menurut Imam Malik,
mut’ah itu sunnah. Menurut Abu Hanifah, mut’ah itu wajib bagi isteri yang belum
digauli sedang mas kawin belum ditentukan. Menurut Imam Syafi’i, mut’ah wajib
manakala inisiatif cerai dari suami kecuali maskawinnya belum ditentukan atau
belum digauli.
Jumhur berpendapat perempuan yang dikhuluk tidak
mendapat mut’ah, karena kedudukannya sebagai pihak yang memberi. Menurut fuqoha
zahiri boleh meneirma dan boleh memberi.
0 komentar:
Posting Komentar